JEMBRANABALICOM - Perjalanan kasus penguburan beras Banpres Joko Widodo sebanyak 3,4 ton nampaknya sudah selesai. Polisi telah memutuskan untuk menghentikan penyelidikannya. Polisi setelah proses penyelidikan ternyata tidak menemukan perbuatan melawan hukum dalam kasus penimbunan beras di dalam tanah yang terjadi di kota depok.. Terkait penemuan beras tersebut Pihak JNE mengamini telah
Beritacontoh surat gugatan perdata perbuatan melawan hukum kasus tanah terbaru hari ini. Lihat informasi seputar contoh surat gugatan perdata perbuatan melawan hukum kasus tanah terupdate yang telah kami kurasi untuk anda
KASUSPOSISI : Z. Iskandar dan NY. Siti Nurlaela, warga Kota Sukabumi, mempunyai rencana untuk membangun sebuah Hotel di Gekbrong Kp. Cikahuripan Cianjur. sehingga lelang ini dituntut untuk dibatalkan. Gugatan yang tidak didasarkan Perbuatan Melawan Hukum ini, merupakan wewenang Peradilan Tata Usaha Negara karena focusnya menyangkut
PerbuatanMelawan Hukum Dalam Kaitannya Dengan Hak Atas Sebidang Tanah Di Villa Palem Kencana Kabupaten Deli Serdang (studi kasus No. 87/PDT/G/2013/PN-LP) Oleh : Leo Adi Putra Panjaitan . NPM: 14.840.0022 . BIDANG HUKUM KEPERDATAAN . Perbuatan Melawan Hukum adalah . Akibat dari suatu perbuatan yang
Masalahmasalah HPI yang dapat timbul dari perkara semacam itu diantaranya adalah ; 1. Berdasarkan sistem hukum mana penentuan kualitas suatu perbuatan sebagai perbuatan melawan hukum harus ditentukan. 2. Berdasarkan sistem hukum mana penetapan ganti rugi harus ditentukan. Sumber : "HUKUM PERDATA INTERNASIONAL" Oleh: Ridwan Khairandy.
TuntutanYang Dapat Diajukan Karena Perbuatan Melawan Hukum 1. Ganti rugi dalam bentuk uang atas kerugian yang ditimbulkan. 2. Ganti rugi dalam bentuk natura atau dikembalikan pada keadaan semula. 3. Pernyataan bahwa perbuatan yang dilakukan adalah melawan hukum. 4. Melarang dilakukannya perbuatan tertentu.
LDKiPF. Membahas analisis antara kaitan penerapan prinsip teori acara perdata Strict Liability dan Precautionary Principle dalam kasus lingkungan hidup. Berdasarkan putusan pengadilan atas sengketa antara KLHK dan PT. Bumi Mekar Hijau Discover the world's research25+ million members160+ million publication billion citationsJoin for free STUDI KASUS PERBUATAN MELAWAN HUKUM ANTARA MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA MELAWAN PT BUMI MEKAR HIJAU Tugas Kelompok Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Komponen Nilai Perkuliahan Studi Kasus Hukum Lingkungan Kelas A Oleh 1. Ashabinur Adam Maulana 110110140311 2. Razy Ramanda P 110110160326 3. Reynata Alya Hartono 110110160070 4. Pieter Manuel 1101101600155 FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS PADJADJARAN JATINANGOR 2019 1 A. Kasus Posisi Kasus yang akan dibahas adalah kasus Perbuatan Melawan Hukum sebagaimana diputus dalam Putusan Pengadilan Tinggi Palembang No. 51/PDT/2016/ antara Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia sebagai Penggugat/Pembanding dan PT Bumi Mekar Hijau sebagai Tergugat/Terbanding, Berikut adalah identitas dari para pihak Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia, dengan ini memberikan kuasa kepada Jasmin Ragil Utomo, Umar Suyudi, dan Nixon F. L. P. Silalahi, beralamat di Jalan Panjaitan Kav. 24 Kebon Nanas Jakarta Timur dan Nasrullah Abdullah, Jimmy Jeremmy, Herwiansyah, dan Ibrahim Fattah, Para Advokat, beralamat di Jalan Timor Nomor 10 Menteng Jakarta Pusat, berdasarkan Surat Kuasa Khusus Nomor 12/MENLHKK/12/2014 tanggal 29 Desember 2014, selanjutnya disebut sebagai Penggugat/Pembanding; Melawan PT Bumi Mekar Hijau, dalam hal ini diwakili oleh Jhonson Lumnan Tobing dan Suhadi Kosasih dalam kedudukannya sebagai Direktur, beralamat di Jalan R. Sukanto Kompleks Ruko PTC Blok I Nomor 63 Lantai 3 Palembang, dalam hal ini memberikan kuasa kepada Dr. Kristianto Maurice Juniarto Rubin, Fajar Ferdinand Dermawan Simorangkir, John Co Siagiana 2 Para Advokat beralamat di Menara Kuniangan Lt. 12-E Jalan Rasunan Said Blok Kav 5. Jakarta, berdasarkan Surat Kuasa Khusus tanggal 12 Januari 2016, selanjutnta disebut sebagai Tergugat/Terbanding; Kasus ini bermula dari ditemukannya peristiwa kebakaran hutan dan lahan wilayah titik panas di beberapa wilayah izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu hutan tanaman industri IUPHHK-HTI sebagaimana rekaman data satelit MODIS pada periode bulan Februari 2014 hingga November 2014, salah satu wilayahnya merupakan milik PT Bumi Mekar Hijau perusahaan di bidang Hutan Tanaman Industri yang izin kegiatan usahanya berdasarkan IUPHHK-HTI dari Menteri Kehutanan Republik Indonesia serta ditetapkan wilayah IUPHHK-HTI tersebut melalui proses lelang atas wilayah kawasan hutan yang tidak produktif/terdegredasi sangat parah sebagai dampak dari kebakaran besar pada tahun 1977/1978, namun disini PT Bumi Mekar Hijau di indikasikan sengaja membuka lahan dengan cara membakarnya. Bahwa laporan dan data hotspot serta informasi tersebut dijadikan landasan bagi Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan KLHK melalui Deputi MENLH Bidang Penataan Hukum Lingkungam untuk membentuk dan menugaskan suatu tim Lapangan, setelah dilakukan pengamatan dan verifikasi lapangan ground checking di lokasi dimana titik-titik panas hotspot tersebut terlihat, yaitu di Distrik Simpang Tiga dan Distrik Sungai Beyuku I masing-masing pada tanggal 22-23 Oktober 2014 dan 17 Desember 2014 yang bertujuan untuk mengetahui apakah telah 3 terjadi kebakaran lahan tepatnya pada lokasi PT Bumi Mekar Hijau dan kemudian menyebabkan terjadinya pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hiup yang mengakibatka kerugian lingkungan hidup. Senyatanya berdasarkan hasil penelitian anggota Tim Lapangan yakni Prof. Dr. Ir. Bambang Hero Saharjo disimpulkan bahwa tanaman akasia terbakar baik pada Distrik Simpang Tiga maupun Beyuku, pergerakan hotspot yang terus bergerak dari hari ke hari baik yang melanjutkan hotspot sebelumnya maupun timbulnya hotspot baru di lain petak. Berdasarkan Fakta Tergugat senyatanya diduga sengaja membakar lahan dengan tujuan membuka lahan dengan biaya murah dan cara cepat terlihat dengan adanya sumber penyululutan yang berasal dari areal tergugat dimana hal tersebut dipastikan adanya hotspot titik panas di dalam areal tersebut yang terditeksi sejak bulan Februari 2014 serta fakta ditemukannya lahan bekas terbakar di Distrik Sungai Biyuku, berisikan tanaman akasia yang terbakar dan sudah di panen/ditebang tapi belum sempat ditarik keluar. Menurut Dr. Ir. Basuki Wasis, yang telah melakukan pengecekan lapangan ground check serta analisis laboratorium atas tana di bekas kebakaran, dimana terjadi kerusakan lahan gambut atau lahan basah akibat pembiaran kebakaran di lokasi PT Bumi Mekar Hijau dengan luas Hektar. PT Bumi Mekar Hijau diduga membiarkan lahannya terbakar, ditandai dengan tidak memadainya sarana, prasarana, SOP dan petugas untuk mencegah dan menanggulangi kebakaran sehingga tidak memadai 4 pula upaya-upaya pencegahan dan penanggulangan kebakaran sebagaimana dibuktikan dengan fakta-fakta setelah adanya kebakaran. Lahan gambut itu sendiri berdasarkan Keputusan Presiden No, 32 Tahun 1990 tanggal 25 Juli 1990 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung tanah gambut dengan ketebalan 3 tiga meter atau lebih ditetapkan sebagai kawasan lindung Vide Pasal 4 jucto Pasal 9 dan 10 Keppres No. 32 Tahun 1990. Akibat lebih lanjut dari adanya pencemaran udara dan kerusakan tanah gambut telah mengakibatkan kerugian lingkungan hidup. Namun terjadi perdebatan diantara kedua pihak yaitu Penggugat dan Tergugat dimana diperkirakan Tanah tersebut tidak hanya merupakan lahan gambut tetapi juga terdapat lahan mineral. Bahwa setelah Penggugat melakukan penelusuran terhadap adanya dugaan perusakan terhadap tanah dan/atau lahan gambut maka Penggugat menyatakan bahwa perbuatan PT Bumi Mekar Hijau telah memenuhi kualifikasi perbuatan melanggar hukum onrechtmatige daad sebagaimana Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dan Pasal 90 UU Lingkungan Hidup dikarenakan tidak melakukan kewajiban hukumnya untuk mencegah dan menangglangi kebakaran sehingga menimbulkan kerusakan bagi lingkungan hidup dalam hal ini tanah gambut. Selanjutnya Penggugat mengajukan surat gugatan tanggal 3 Februari 2015 yang serta dibacakan di dalam Persidangan. Sebelum itu Majelis Hakim telah mengupayakan perdamaian diantara para pihak melalui mediasi sebagaimana ditur dalam Perma Nomor 1 Tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan dengan menunjuk S. Joko Sungkowo, S,H. Hakim 5 Pengadilan Negeri Palembang sebagai Mediator, namun berdasarkan Laporan Mediator tanggal 29 Apriil 2015 upaya perdamaian tidak berhasil, Sehingga pemeriksaan perkara dilanjutkan dengan pembacaan surat gugatan. Setelah menjalani proses pemeriksaan di muka sidang dari mulai pembacaan gugatan, jawaban gugatan, replik, duplik, putusan sela, pemeriksaaan alat bukti, pemeriksaan saksi ahli baik penggugat maupun tergugat, dan kesimpulan. Maka Majeis Hakim tingkat pertama dengan intuisinya membenarkan bahwa benar telah terjadi kebakaran lahan di Distrik Simpang Tiga dan Distrik Sungai Biyuku wilayah konsensi PT Bumi Mekar Hijau namun pada pertimbangannya Tergugat telah menyediakan sarana dan prasarana yang memadai, tidak ditemukannya hubungan kausalitas sehingga klausul antara kesalahan dan kerugian tidak terpenuhi sebagaimana unsur Pasal 1365 KUHPerdata, dan tidak ditemukannya kerugian ekologis, tidak terjadi kepunahan atau kerusakan sifat biologis tanah. Pada hari Senin tanggal 28 Desember 2015, Majelis Hakim Pengaadilan Negeri Palembang yang memeriksa dan mengadilili perkara perdata dalam tingkat pertama menjatuhkan putusan yakni Putusan Pengadilan Negeri Palembang No. 24/ Plg dengan amar sebagai berikut Dalam Provisi - Menolak tuntutan provisi Penggugat; Dalam Ekspesi 6 - Menolak eksepsi Tergugat; Dalam Pokok Perkara - Menolak gugatan Penggugat seluruhnya; - Menghukum Penggugat untuk membayar biaya perkara yang sampai hari ini ditetapkan sejumlah sepuluh juta dua ratus lima puluh satu ribu rupiah Atas putusan Pengadilan Negeri Palembang tersebut, Penggugat telah mengajukan upaya hukum banding. Pada tahap banding, setelah Majelis Hakim tingkat banding membanca dan mempertimbangkan segala prosedur banding, alasan banding dan melakukan pemeriksaan terhadap pokok perkara, maka dijatuhkanlah putusan yakni Putusan Pengadilan Tinggi Palembang No. 51/PDT/2016/ pada tanggal 10 Agustus 2016 dengan amar lengkap sebagai berikut MENGADILI - Menerima permohonan banding dari Penggugat/Pembanding; - Membatalkan putusan Pengadilan Negeri Palembang Nomor 24/ tanggal 30 Desember 2015, yang dimohonkan banding tersebut dan MENGADILI SENDIRI DALAM PROVISI - Menolak tuntuan provisi Penggugat/Pembanding; 7 DALAM EKSPEPSI - Menolak Eksepsi Tergugat/Terbanding; DALAM POKOK PERKARA 1. Menerima dan mengabulkan gugatan Penggugat/Pembanding untuk sebagian; 2. Menyatakan Tergugat/Terbanding telah melakukan perbuatan melawan hukum; 3. Menghukum Tergugat/Terbanding untuk membayar gantirugi sebesar Rp. tujuh puluh delapan milyar limaratus dua juta limaratus ribu rupiah kepada Penggugat/Pembanding melalui rekening Kas Negara; 4. Menghukum Tergugat/Terbanding untung mebayar biaya perkara ini dalam kedua tingkat peradilan, yang dalam tingkat banding sebesar sertus lima puluh ribu rupiah; 5. Menolak gugatan Penggugat/Pembanding untuk selebihnya B. Fokus Permasalahan Berdasarkan latar belakang pemilihan kasus dan kasus posisi diatas, permasalahan hukum yang akan diangkat adalah sebagai berikut 1. Bagaimana pertanggungjawaban suatu perusahaan dalam hal ganti kerugian terhadap kebakaran lahan miliknya sebagaimana diputus dalam Putusan Pengadilan Tinggi Palembang No. 51/PDT/2016/ 8 2. Apakah hakim telah melakukan perluasan implementasi doktrin stricliability dalam Putusan Pengadilan Tinggi Palembang No. 51/PDT/2016/ C. Tinjauan Teoritik 1. Pengertian Hukum Perdata a. Pengertian Hukum Menurut Pasal 1 ayat 3 Undang-Undang Dasar 1945 Amandemen ke-4, dikatakan bahwa Indonesia adalah negara hukum. Landasan mengenai negara hukum dapat ditemukan dalam bagian Penjelasan Umum UUD 1945 mengenai sistem pemerintahan negara, yaitu 1 Indonesia adalah negara yang berdasarkan atas negara hukum rechstaat. Negara Indonesia berdasarkan hukum dan tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka machtstaat. Kemudian, 2 Indonesia menganut Sistem Konstitusional, yakni pemerintah berdasarkan sistem konstitusi hukum dasar tidak bersifat absolutisme kekuasaan yang tidak terbatas. Dengan demikian, seluruh sendi kehidupan dalam bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara harus berdasarkan pada norma-norma hukum. Artinya adalah hukum harus dijadikan sebagai jalan keluar dalam penyelesaian masalah-masalah yang berkenaan dengan perorangan maupun kelompok, baik masyarakat maupun negara. Menurut Mochtar Kusumaatmadja, hukum adalah Lihat Pasal 1 ayat 3 Undang-Undang Dasar 1945 Lihat Penjelasan Umum Undang-Undang Dasar 1945 9 keseluruhan kaidah dan asas yang tidak hanya mengatur melainkan juga meliputi lembaga-lembaga dan proses yang diperlukan untuk mewujudkan berlakunya hukum itu dalam pengertian tersebut, terdapat 4 empat unsur penting, yakni asas, kaidah, proses, dan lembaga. Asas dan kaidah menggambarkan hukum sebagai gejala normative yang diimplementasikan dalam bentuk peraturan perundang-undangan. Kemudian, asas erat kaitannya dengan keadilan, sementara kaidah berarti pedoman untuk bertindak yang berarti normatif. Selanjutnya, lembaga dan proses menggambarkan hukum sebagai gejala sosial yang juga mencerminkan hukum yang hidup di dalam masyarakat. Fungsi hukum yang terpenting adalah tercapainya keteraturan dalam kehidupan manusia di dalam dari keteraturan tersebut akan tercipta kepastian hukum dan ketertiban dalam masyarakat. Fungsi sebagaimana dijelaskan di atas sama dengan tujuan hukum. Tujuan hukum adalah terpelihara dan terjaminnya keteraturan, kepastian dan ketertiban sehingga terciptalah kehidupan manusia yang Pengertian Hukum Perdata Dalam memahami hukum perdata dapat dilihat berdasarkan definsi para ahli berikut 1. Prof. Subekti Mochtar Kusumaatmadja, Konsep-Konsep Hukum dalam Pembangunan, Bandung Alumni, 2006, Ibid., hlm. 7 Mochtar Kusumaatmadja dan B. Arief Sidharta, Pengantar Ilmu Hukum Suatu Pengenalan Pertama Ruang Lingkup Berlakunya Ilmu Hukum, Bandung PT Alumni, 2013, hlm. 49 Ibid., hlm. 50 10 Pengertian Hukum Perdata menurut Prof. Subekti adalah segala hukum private materiil yaitu segala hukum pokok yang mengatur kepentingan perseorangan. 2. Prof. Sudikno Mertokusumo Pengertian Hukum Perdata menurut Prof. Sudikno Mertokusumo adalah keseluruhan peraturan yang mempelajari mengenai hubungan antara orang yang satu dengan yang lainnya dalam hubungan keluargan dan dalam pergaulan masyarakat. Hukum perdata menjadi lingkup hukum yang bersifat privat karena bertaut pada hubungan yang terbatas tidak berkaitan dengan kepentingan umum. Namun, dalam hubungan antara lingkup perdata dengan kajian ilmu hukum lingkungan tentunya memiliki keterkaitan. Yang mana difokuskan pada subjek hukum yang terkait dengan pengelolaan lingkungan, dengan demikian dalam penyelesaian hukumnya perdata berperan mengatur keterikatan antar para pihak sebagai subjek hukum. Tentunya hal tersebut juga didasarkan pada kenyataan bahwa “lingkungan” bukanlah subjek hukum, sehingga perlunya pihak yang mewakilkan secara public maupun privat mengikuti kepentingan yang ada. 11 2. Pengertian Hukum Lingkungan Istilah mengenai hukum lingkungan adalah merupakan konsepsi yang relatif masih baru dalam dunia keilmuan pada umumnya dan dalam lingkungan ilmu hukum pada khususnya, ia tumbuh sejalan bersamaan dengan tumbuhnya kesadaran akan lingkungan. Dengan tumbuhnya pengertian dan kesadaran untuk melindungi dan memelihara lingkungan hidup, maka tumbuh pula perhatian hukum kepadanya hingga menyebabkan tumbuh dan berkembangnya cabang hukum baru yang disebut hukum Munadjat Danusaputro mengutarakan pendapatnya dengan tidak memberikan pengertian hukum lingkungan secara langsung, tetapi lebih memilih membedakan hukum lingkungan dalam 2 dua bentuk yakni hukum llingkungan modern dadn hukum lingkungan klasik. Setelah membedakan antara hukum lingkungan modern dan hukum lingkungan klasik, maka beliau barulah memberikan pengertian antara keduanya. Adapun maksud dari hukum lingkungan modern diartikan sebagai aturan hukum yang menetapkan ketentuan-ketentuan dan norma-norma guna mengatur tindak perbuatan manusia dengan tujuan untuk melindungi lingkungan dari kerusakan dan kemerosotan mutunya demi untuk menjamin kelestariannya agar dapat secara langsung terus-menerus digunakan oleh generasi sekarang maupun generasi mendatang. Sedangkan, hukumlingkungan klasik adalah Munadjat Danusaputro, Hukum Lingkungan Buku I, Bandung Bina Cipta, 1980, Op. Cit., hlm. 67 Munadjat Danussaputro, Op. Cit., hlm. 35-36 12 aturan hukum yang menetapkan ketentuan dan norma-norma dengan tujuan terutama sekali untuk menjamin penggunaan dan eksploitasi sumber-sumber daya lingkungan dengan berbagai akal dan kepandaian manusia guna mencapai hasil semaksimal mungkin, dan dalam jangka waktu yang Teori Tanggung Jawab Hukum Perusahaan a. Pengertian Tanggung Jawab Hukum Tanggung jawab menurut Kamus Besar Bahas Indonesia adalah keadaan wajib menanggung segala sesuatu, apabila terjadi apa-apa boleh dituntut, dipersalahkan dan sebagainy. Pembebanan atas akibat dari perbuatan atau sikap pihak sendiri atau pihak Sugeng Isanto tanggung jawab adalah kewajiban untuk memberikan pemulihan atas kerugian yang mungkin telah ditimbulkan. Ridwan Halim mengartikan tanggung jawab hukum sebagai suatu akibat lebih lanjut dari pelaksanaan peranan, baik peranan itu merupakan hak dan kewajiban maupun kekuasaan. Sedangkan secara umum, Ridwan Halimm melihat tanggung jawab hukum sebagai sesuatu akibat lebih lanjut dari pelaksanaan pernan, baik pernanan itu merupakan hak dan kewajiban ataupun kekuasaan. Sedangkan secara umum, Ridwan Halim melihat tanggung jawab hukum sebagai kewajuban untuk melakukan Ibid. 35-36 Poerwadamita, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta, 1976, hlm. 1014 13 sesuatu atau berperliaku menurut cara tertentu yang tidak menyimpang dari peraturan yang telah hukum perdata setiap perbuatan yang bertentangan dengan hukum maka harus dipertanggungjawabakan sebesar kerugian yang diderita oleh pihak lain. Sistem hukum perdata di Indonesia banya diwarnai oleh sistem Comman Law. Menurut sistem ini, suatu perbuatan yang bertentangan dengan hukum yang karenannya menimbulkan kerugian pada pihak lain, akan mewajibkan si pembuat kesalahan bertanggung jawab b. Konsep Tanggung Jawab Hukum Tanggung jawab hukum dalam bidang perdata diuraikan menjadi beberapa jenis konsep atau dokrin yang diuraikan sebagai berikut 1. Tannggung Jawab Berdasarkan Kesalahan Liability Based On Fault Konsep tanggung jawab berdasarkan kesalahan mengandung makna bahwa tergugat bertaggung jawab apabila tergugat dapat dibuktikan bersalah oleh penggugat. Apabila tergugat dapat dibuktikan bersalah, maka tergugat bebas dari semua pertanggunhjawaban yang dimintakan oleh penggugat. Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata konsep tanggung jawab berdasarkan kesalahan Liabilitu Based on Fault tertuang dalam Pasal 1365 tentang perbuatan melawan hukum. Konsep tanggung jawab hukum berdasarkan kesalahan didasarkan pada adagium bahwa tidak ada pertanggunjawaban Khairunnisa, Kedudukan, Peran, dan Tanggung Jawab Hukum Direksi, Medan Pasca Sarjana, 2008, hlm. 4 14 apabila tidak ada unsur kesalahan. Adapun unsur-unsur perbuatan melawan hukum menurut ketentuan Pasal 1365 KUHPer adalah a Adanya suatu perbuatan; Suatu perbuatan melawan hukum diawali oleh perbuatan pelakunya. Umumnya diterima anggapan bahwa dengan melakukan perbuatan dimaksud dengan berbuat sesuatu aktif maupun tidak berbuat sesuatu pasif. Misalnya tidak berbuat sesuatu padahal dia berkewajiban untuk membantunya, kewajiban yang mana timbul dari hukum yang berlaku karena ada kewajiban yang timbul dari kontrak. Karena terhadap perbuatan melawan hukum tidak ada unsur persetujuan atau kata sepakat dan tidak ada juga unsur kausa yang diperbolehkan sebagaimana yang terdapat dalam perbuatan yang dimaksud dalam PAsal 1365 KUHPerdata mencakup dua pengertian yang terdiri dari perbuatan dengan segi positif yang artinya perbuatan itu dilakukan oleh seseorang dengan sengaja dan perbuatan tersebut menimbiulkan akibat yang merugikan bagi orang lain dan segi negative yang artinya tidak melakukan suatu perbuatan sedangkan menurut hukum hlm. 185 15 orang tersebut harus melakukan tindakan dan akibat yang dapat merugikan orang lainb Perbuatan tersebut bersifat melawan hukum; Untuk dapat dikenai perbuatan melawan hukum maka asuatu perbuatan yang dilakukan harus bersifat melawan hukum, dimana sejak putusan Hooge Raad tanggal 31 Januari 1919 konsep perbuatan melawan hukum telah berkembang dan diartikan dalam arti yang luas, tidak hanya terbatas pada kaedah hukum tertulis saja, yaitu hukum yang diatur oleh peraturan perundang-undangan. Selain perbuatan yang melanggar undang-undang, sesuatu perbuatan dapat dikatakan melawan hukum apabila melanggar hak orang lain, bertentangan dengan kewajiban hukumnya sendiri, bertentangan dengan kesuilaan yang baik, dan bertentangan dengan keharusan dan kepatutan yang harus diindahkan dalam pergaulan masayrakat mengenai orang lain atau Terdapat kesalahan pada pelaku; Untuk dapat dipintakan pertanggungjawaban atas perbuatan melawan hukum yang dilakukan seseorang, menurut hukum perdata, seseorang dikatakakan bersalah jika terhadapnya dapat disesalkan bahwa dia telah melakukan/tidak melakukan suatu perbuaan yang MA. Moegni Djododirjo, Perbuatan Melawan Hukum, VOlmar, Pengantar Studi Hukum perdata, Rosa Agustina, Perbuatan Melawan Hukum, Jakarta Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2003, hlm. 117. 16 seharusnya dihadirkan. Perbuatan yang seharusnya dilakuka/tidak dilakukan itu tidak terlepas dari pada dapat atau tidaknya hal-hal itu dikira-kira. Dapat dikira-kira haur diukur secara objektif, artinya manusia normal dapat mengira-ngira dalam keadaan tertentu perbuatans seharusnya dilakukan/tidak dilakukan. Agar dapat dikenakan Pasal 1365 KUHPerdata tentang perbuatan melawan hukum tersebut, undang-undang dan yurisprudensi mensyaratkan agar para peaku harus mengandung unsur kesalahan dalam melaksanakan perbuatan tersebut. Karena itu, tanggung jawab tanpa kesalahan strict liability tidak termasuk tanggung jawab berdasarkan kepada Pasal 1365 KUHPerdata. Jikapun dalam hal tertentu diberlakukan tanggung jawab tanpa kesalah tersebut, hal tersebut tidak didasari Pasal 1365 KUHPErdata tetapi didasari kepada undang-undang Pasal 1365 KUHPerdata mensyaratkan adanya untur kesalahan dalam suatu perbuatan melawan hukum, maka perlu diketahui bagaimana cakupan dari unsur kesalahn tersebut. Suatu tindakan dianggap oleh hukum mengandung unsur kesalahan sheingga dapat dimintakan tanggung jawabnya secara hukum jika memenuhi unsur-unsur kesengajaan, ada kelalaian, dan Abdulkadir Muhammad, Hukum Perikatan, hlm. 147 Achmad Ichsan, Hukum Perdata, Jakarta PT Pembimbing masa, 1969, hlm 11 17 tidak ada alasan pembenar atau alasan pemaaf, seprti keadaan overmacht, membela diri, tidak warasm dll. d Timbul kerugian; Suatu perbuatan dapat dikatakan sebagai perbuatan melawan hukum jika perbuatan tersebut menimbulkan kerugian bagi kroban. Namun bentuk ganti rugi atas perbuatan melawan hukum tersebut tidak ditentukan secara tegas oleh undang-udang. Adapun kerugian yang disebabkan oleh perbuatan melawan hukum dapat berupa kerugian materil dan Terdapat hubungan kausalitas antara perbuatan dan kerugian Hubungan kasual atau hubungan sebab akibat dipakai untuk menentukan apakah ada pertalian antara suatu perbuatan hukum dengan kerugian, sehingga orang yang melakukan perbuatan tersebut dapat dimintai pertanggungjawabannya. Yang dimaksud dengan sebab adalah sesuatu yang dapat bekerja menimbulkan perubaham, yang telah menimbulkan akibat. Dalam hukum pidana pentingnya ajran kausalitas ini adalah untu menentukan siapa yang dapat dipertanggungjawabkan terhadap timbulnya suatu akibat dalam bidang hukum perdata ajaran kausalitas digunakan untuk meneliti apakah ada hubungan kausal atara perbuatan melawan Dr. Munir Fuandy, Perbuatan Melawan Hukumm Pendekatan Kontemporer, BanudngL PT Citra Aditya Bakti, 2005, hlm. 13 18 hukumd an kerugian yang ditimbulkan pelaku sehingga si pelaku dapat dimintai pertanggungjawabannya Ajaran kausalitas tentang persoalan apakah terdapat hubungan kausal antara perbuatan yang dilakukan dengan kerugian terdapat beberapa teori, yaitu i. Teori condition sine qua non dari Von buri Pada teori ini yang dilihat adalah bahwa setiap masalah yang merupakan syarakat untuk timbulnya suatu akiat adalah menjadi sebab dari Teori adequate dari Von Kries Pada teori ini perbuatan yang harus dianggap sebagai sebab akibat dari akibat yang timbul adalah perbuatan yang seimbang dengan akibat. Dasar untuk menentukan perbyatan yang seimbang adalah perhitungan yang layak, sehingga menurut teori ini digunakan keriteria kemungkinan terbesar2. Tanggung Jawab Tanpa Ada Kesalahan Strict Liability Pengertian Strict Liability Konesp atau doktrin strict liability menurut Ida Bagus Wyasa Putra menunjuk pada peristiwa hukum yang menggambarkan hubungan antara perbuatan pelaku dengan akibatnya, kewajiban pembuktian terhadap korelasi antara perbuatan dengan akibat perbuatan itu tidak dilakukan oleh pihak penggugat, melainkan oleh tergugat proses pembuktian Moegni Djofjodirjo, Perbuatan Melawan Hukum, hlm. 83 Ibid Rosa Agustina, Perbuatan Melawan Huku, hlm. 82-83 19 dengan beban pembuktian terbalik. Konsep Strict liability mulai dikenal berawal dari sebuah kasus di Inggris, yaitu kasus Rylands vs Fletchter 1868. Selanjutnya tanggung jawab mutlak diterapkan dalam berbagai peraturan perundang-undangan nasional dan konvensi-konvensi liability telah diterapkan dalam Konvensi Paris 1960 tentang Kapal Nuklir, Konvensi Roma 1952 tentang Tanggung Jawab Terhadap Pihak Ketiga di Permukaaan Bumi, Monteal Aggrement of 1966, Protokol Guantemala 1971, Liability Convention of 1972 tentang Tanggung Jawab Internasional Peluncuran Benda-Benda Angkasa. Konsep atau doktrin strict liability merupakan tanggung jawab yang diterapkan untuk kasus-kasus yang digolongkan sebagai extrahazardous atau abnormally dangerous activities, Konsep atau doktrin ini dapat membantu menangani kasus-kasus yang berbahaya bagi lingkungan dan juga diirigi dengan pembebanan pembuktian terbalik, sehingga tanggung jawab ini muncul seketika tanpa melihat kesalahan tergugat, hal ini dilakukan untuk mencegah bahaya dan kerugian. Penerapan Tanggung Jawab Mutlak Strict Liablity di Indonesia Dr. Muhammad Akiba, Hukum Lingkungan Perspektif Gloal dan Nasional, JakartaPT Raja Grafindo Persada, 2014, Federick, J, Pinukunary, Mengkaji Gugatan PMH dalam Kasus Perusakan Lingkungan di Porong, Sidoarjo, www. diakses pada tanggal 23 September 2019, pukul WIB 20 Pada awalnya konsep tanggungjawab mutlak ini diperkenalkan melalui ratifikasi atas Civil Liability Convention for Oil Pollution Damage CLC tahun 1969 oleh Keputusan Presiden Tahun 1978. Dan kemudian dirumuskan ke dalam UU Tahun 1982 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup yang telah dua kali direvisi hingga yang saat ini berlaku, serta UU Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup UU Lingkungan Hidup juga memuat soal strict liability. Adapun mengenai konsespsi tanggung jawab mutlak ini dicantumkan dalam Pasal 88 UU Nomor 32 tahun 2009 tentang PPLH Perlindungan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Yang mana pengertian lebih lanjut pasal tersebut, diuraikan dalam bagian penjelasan “Yang dimaksud dengan „bertanggung jawab mutlak‟ atau strict liability adalah unsur kesalahan tidak perlu dibuktikan oleh pihak penggugat sebagai dasar pembayaran ganti rugi. Ketentuan ayat ini merupakan lex specialis dalam gugatan tentang perbuatan melanggar hukum pada umumnya. Besarnya nilai ganti rugi yang dapat dibebankan terhadap pencemar atau perusak lingkungan hidup menurut Pasal ini dapat ditetapkan sampai batas tertentu.” Berdasarkan penjelasan makna pasal 88 UU PPLH tersebut, maka gugatan apapun yang berkaitan dengan „ganti rugi‟ dan „perbuatan melawan hukum‟ bukan didasarkan pada pembuktian 21 kesalahan oleh penggugat. Melainkan menjadi tanggungjawab tergugat untuk dibuktikan di pengadilan. Dalam kenyataannya masih banyak kekeliruan dalam pemahaman dan penerapan konsep tanggungjawab mutlak. Yang mana pada penerapannya, banyak praktisi hukum yang menggabungkan gugatan strict liability dan PMH secara bersamaan, sebagaimana yang dituturkan oleh Dr. Andri G. Wibisana, LL. M. dalam acara peluncuran buku berjudul “Penegakan Hukum Lingkungan Melalui Pertanggungjawaban Perdata” karangan Dr. Andri G. Wibisana, Dosen Hukum Lingkungan FHUI.3. Tanggung Jawab Mutlak Absolute Liability Pada dasarnya konsep atau doktrin tanggung jawab multak absolute liability ini sebenarnya hampir sama dan mirip dengan konsep strict liability. Ahli Hukum, E. Saefullah Wirapradja menyamakan konsep absolute liability dengan konsep strict liability dengan mendefinisikannya dengan tanggung jawab yang ada tanpa keharusan untuk membuktikan adanya keaslahan atau dengan kata lain adalah konsep tanggung jawab yang memandang keasalahan sebaga suatu yang tidak relevan untuk dipermasalahkan ada atau ada juga yang membedakan absolute liability dengan strict liability melalui kriteria sebagai berikut Winda Ayu A., Penerapan “Strict Liability” dalam Penegakan Hukum Lingkungan di Indonesia, diakses melalui pada 23 September 2019, pukul 1725 WIB. Dwidja Priyatno, Kebijakan Legislasi Tentang Sistem Pertanggung jawaban Pidana Korporasi di Indonesia, Bandung Utomo, 2004, hlm. 89 22 a Pada strict liability masih berlaku alasan pemaaf yaitu apabila terjadi kerusakan akibat dari bencana alam atau force majure, dan tindakan dari pihak ketiga. Pada strict liability pembatas tanggung jawab dimungkinkan dengan jumlah maksimum ganti rugi plafond atau ceiling. b Pada absolute liability tidak mengenal alasan pemaaf, batas maksimum ganti rugi juga tidak diperkanankan karena semua kurgian yang timbul menjadi tanggung jawab tergugat. Menurut James Krier, doktrin pertanggungjawaban mutlak merupakan banuan yang sangat besar dalam peradilan mengenai kasus-kasus lingkungan, karena banyak kegaitan-kegaiatan yang menimbulkan kerugian terhadap lingkungan merupakan tindakan-tindakan berbahaya untuk mana dapat diberlakukan ketentuan-ketentuan tanggung jawab tanpa menurut Lummert, konsep tanggung jawab mutlak diartikan terutama sebagai kewajiban mutlak yang dihubungkan dengan ditimbulkannya kerusakan. Salah satu ciri utama asas tanggung jawab mutlak adalah tidak adanya jauh menurut Binceng, absolute liability akan timbul kapan saja dan keadaan yang menimbulkan tanggung SIahaan, Hukum Lingkugan dan Ekologi Pembangunan, hlm. 315 Koesnadi Hardjasoemantri, Hukum Tata Lingkungan, edisi XIII, cet XIX, Jogjakarta Gadjarh Mada University Press, 2006, hlm. 412 23 jawab tersebut ada tanpa mempersalahkan oleh siapa atau bagaimana terjadinya kerugian. Jadi absolute liability adalah hubungan kausalitas antara orang yang bertanggung jawab dan kerugian tidak Asas Kehati-hatian precautionary principle Pada dasarnya precautionary principle merupakan turunan atas prinsip pembangunan berkelajutan sustainable development yang dihasilkan melalui Konferensi Tingkat Tinggi Bumi di Rio de Janiero 1992. Yang mana prinsip kehati-hatian ini memuat bahwa “apabila terdapat suatu ancaman terhadap lingkungan yang tidak dapat dipulihkan, maka ketiadaan temuan atau pembuktian ilmiah yang konklusif dan pasti tidak dapat dijadikan alasan untuk menunda upaya-upaya untuk mencegah terjadinya kerusakan lingkungan.” Mengingat pada konsep prinsip kehati-hatian, maka akan sering dijumpai dalam kaitannya dengan teori pertanggungjawaban liability. Hal ini dikarenakan bahwa prinsip kehati-hatian terbagi menjadi empat unsur Ambang batas kerusakan threshold / irreversibility  Ketidak pastian uncertainty  Tindakan-tindakan yang dilakukan measures to be taken  Ukuran Perintah command dimension Adapun dalam Putusan Kasus Mandalawangi, berkembanglah pandangan bahwa kemunculan precautionary principle menjadi bagian yang menyempurnakan rumusan formula yang menghasilkan konsep strict liability. Ibid Imammulhadi, Perkembangan Prinsip Strict Liability dan Precautionary dalam Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup Mimbar Hukum Volume 25, nomor 3, Oktober 2013, hlm. 428. Fajri Fadhilah, Asas Kehati-hatian dalam Hukum Lingkungan Indonesia Studi Kasus Putusan PTUN Jakarta Terkait Izin Penempatan Tailing Di Dasar Laut Oleh PT. Newmont Nusa Tenggara, FH Universitas Indonesia, diakses melalui pada 23 September 2019, pukul WIB. 24 5. Putusan Hakim dan Penemuan Hukum a. Putusan Hakim Menurut Sudikno Mertokusumo, putusan hakim adalah suatu pernyataan yang oleh hakim sebagai pejabat negara yang diberi wewenang untuk itu, diucapkan di persidangan dan bertujuan untuk mengakhiri atau menyelesaikan suatu perkara atau masalah antar pihak. Bukan hanya yang diucapkan saja yang disebut putusan, melainkan juga pernyataan yang dituangkan dalam bentuk tertulis dan kemudian diucapkan oleh Hakim di persidangan. Sebuah konsep putusan tertulis tidak mempunyai kekuatan sebagai putusan sebelum diucapkan di persidangan oleh hakim. Putusan akhir dalam suatu sengketa yang diputuskan oleh hakim yang memeriksa dalam persidangan umumnya mengandung sangsi berupa hukuman terhadap pihak yang dikalahkan dalam suatu persidangan di pengadilan. Sanksi hukuman ini baik dalam Hukum Acara Perdata maupun Hukum Acara Pidana pelaksanaannya dapat dipaksakan kepada para pelanggar hak tanpa pandang bulu, hanya saja bedanya dalam Hukum Acara Perdata hukumannya berupa pemenuhan prestasi dan atau pemberian ganti rugi kepada pihak yang telah dirugikan atau yang dimenangkan dalam persidangan pengadilan dalam suatu sengketa, Sedangkan dalam Hukum Acara Pidana umumnya Andri Wibisana, Pertanggungjawaban Perdata, Kausalitas, dan Alasan Pembelaan, Makalah, Disampaikan pada Pelatihan Sertifikasi Hakim Lingkungan Hidup, Bogor PUSDIKLAT MA, 8 April 2016, hlm. 4. Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia. Edisi ketujuh, Yogyakarta Liberty, hlm. 115 25 hukumannya penjara dan atau Penemuan Hukum Penemuan hukum adalah proses pembentukan hukum oleh hakim, atau aparat hukum lainnya yang ditugaskan untuk penerapan peraturan hukum umum pada peristiwa hukum konkret. Lebih lanjut, dapat dikatakan bahwa penemuan hukum adalah proses konkretisasi atau individualisasi peraturan hukum das Sollen yang bersifat umum dengan mengingat akan peristiwa konkret das Sein tertentu. Hakim selalu akan dihadapkan pada peristiwa konkret, konflik, atau kasus yang harus diselesaikan atau dipecahkannya dan untuk itu perlu dicarikan hukumnya. Maka dari itu, dalam penemuan hukum yang penting adalah bagaimana mencarikan atau menemukan hukumnya untuk peristiwa hukum merupakan karya manusia dan ini berarti antara lain bahwa setiap penerapan hukum selalu didahului oleh seleksi subjektif mengenai peristiwa-peristiwa dan peraturan-peraturan yang relevan. Selanjutnya, penerapan sendiri selalu berarti merumus-ulang suatu peraturan abstrak untuk peristiwa konkret. Problematik yang berhubungan dengan penemuan hukum pada umumnya dipusatkan sekitar hakim dan pembentuk undang-undang. Akan tetapi, dalam kenyataanya problematik penemuan hukum ini tidak hanya berperan pada kegiatan hakim dan pembentuk undang-undang saja. Berbagai pihak juga melakukan penemuan hukum. Sarwono, Hukum Acara Perdata Teori dan Praktik, Jakarta Sinar Grafika, 2011, hlm. 90 Sudikno Mertokusumo, Penemuan Hukum, Yogyakarta Cahaya Atma Pustaka, 2014, hlm. 51 26 D. Peraturan Perundang-Undangan Terkait 1. Pengaturan mengenai Tanggung Jawab Perusahaan Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Pasal 1365 yang menyatakan “setiap perbuatan melanggar hukum yang membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang karena kesalahan menimbulkan kerugian itu, harus mengganti kerugian tersebut” Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata ini merupakan pengejawantaha dari prinsip tanggung jawab yang mempunyai kewajiban untuk melakukan pembuktian atas kesalahan atau kelalaian tergygat yang menyebabkan adanya kerugian. Kembali melihat ke dalam Pasal 1365 KUHPerdata dapat ditarik unsur-unsur yang ada di dalam pasal tersebut untuk menentukan ada tidaknya suatu perbuatan yang harus dipertanggungjawabkan atau biasa dikenal dengan ada tidaknya suatu perbuatan melawan hukum. Adapun unsur-unsur tersebut adalah sebagai berikut 1. Adanya Perbuatan 2. Perbuatan itu harus bersifat melawan hukum 3. Terdapatnya kesalahan pada pelaku 4. Timbulnya kerugian 5. Terdapat hubungan kausalitas antara perbuatan dengan kerugian Syahrul Machmud, Penegakan Hukum dan Perlindungan Hukum, Bandung Mandar Maju, 2008, hlm. 185 27 Berdasarkan unsur-unsur tersebut diatas, seseorang baru bisa dimintai pertanggungjawaban apabila telah memenuhi empat unsur tersebut. Hal ini sejalan pula dengan adagium tidak ada pertangguungjawaban apabila tidak terdapat unsur kesalahan No Liability Without Fault. 2. Pengaturan Mengenai Konsep atau Doktrin Strict Liability Indonesia menerapkan konsep atau doktrin strict liability pertama kali melalui Keppres Nomor 18 Tahun 1978 tentang Pengesahan Internastional Convention on Civil Liability for Oil Damage CLC maratifikasi konvensi internasional dan memasukkan ke dalam peraturan perundang-undangan yang diantaranya adalah a Undang-Undang Nomor. 4 Tahun 1982 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup; b Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1983 Tentang Zona Ekonomi Ekslusif Indonesia; c Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1997 tentang Ketenaganukliran; d Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup perubahan Undang-Undang Nomor. 4 Tahun 1982 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup; e Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup; Dr, Muhammad Akiba, Hukum Lingkungan Dalam Prespektif Global dan Nasional, Jakarta PT Grafindo, 2014, hlm. 185 28 3. Peraturan mengenai kewajiban penanggung jawab usaha untuk melakukan pencegahan dan penyiapan sarana dan prasarana yang memadai untuk mencegah terjadinya kebakaran hutan di lokasi usahanya a. Peraturan Pemerintah Tahun 2001 tentang Pegendalian Kerusahan dan atau Pencemaran Lingkungan Hidup yang Berkaitan dengan Kebakaran Hutan dan atau Lahan Pasal 13 “Setiap penanggung jawab usaha yang usahanya dapat menimbulkan dampak besar dan penting terhadap kerusahan dan atau pencemaran lingkungan hidup yang berkaitan dengan kebakaran hutan dan atau lahan wajib mencegah terjadinya kebakaran hutan dan atau lahan di lokasi usahanya” Pasal 14 “Ayat 1 Penanggung jawab sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 wajib memiliki sarana dan prasarana yang memadai untuk mencegah terjadinya kebakaran hutan dan atau lahan di lokasi usahanya Ayat 2 Sarana dan prasarana pencegahan terjadinya kebakaran hutan dan atau lahan sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 meliputi 29 a. Sistem deteksi dini untuk mengetahui terjadinya kebakaran hutan dan atau lahan; b. Alat pencegahan kebakaran hutan dan atau lahan; c. Prosedur opersi standar untuk mencegah dan menanggulangi terjadinya kebakaran hutan dan atau lahan; d. Perangkat organisasi yang bertanggung jawab dalam mencegah dan menanggulangi terjadinya kebakaran hutan dan atau lahan; e. Pelatihan penanggukangan kebakaran hutan dan atau lahan secara berkala” b. Peraturan Menteri Kehutanan No. 12 Tahun 2009 tentang Pengendalian Kebakaran Hutan. c. Peraturan Menteri Lingkungan Hidup No. 10 Tahun 2010 tentang Mekanisme Pencegahan Pencemaran dan atau Kerusakan Lingkungan Hidup yang Berkaitan dengan Kebakaran Hutan dan atau Lahan. d. Keputusan Menteri Kehutanan No. 97 Tahun 1998 tentang Prosedur Penanganan Krisis Kebakaran Hutan e. Peraturan Dirjen PHPA No. 4 Tahun 2013 tentang Prosedur Tetap Pengendalian Kebakaran Hutan f. Peraturan Dirjen PHPA No. 243 Tahun 1994 tentang Petunjuk Teknis Pencegahan dan Penanggulangan Kebakaran Hutan di Areal Pengusahaan Hutan dan Areal Penggunaan Lainnya. 30 g. Keputusan Dirjen PHPA No. 246 Tahun 1994 tentang Petunjuk Pembuatan dan Pemasangan Rambu-rambu Kebakaran Hutan. h. Keputusan Dirjen PHPA No. 48 Tahun 1997 tentang Sistem Komandi Pemadam Kebakaran Hutan. 4. Pengaturan mengenai akibat pencemaran dan/atau kerusakan Lingkungan Hidup, tanggung jawab pencegahan dan pengendalian melekat pada setiap pelaku kegiatan usaha a. Peraturan Menteri Lingkungan Hidup No. 7 Tahun 2014 tentang Kerugian Lingkungan Hidup Akibat Pencemaran dan/atau Kerusakan Lingkungan Hidup b. Pasal 48 ayat 3 Undang-Undang Tahun 1999 tentang Kehutanan 1 …………………………………………………………………… 2 …………………………………………………………………… 3 Pemegang izin usaha pemanfaatan hutan sebagaimana dimksud dalam Pasal 27 dan Pasal 29, serta pihak –pihak yang menerima wewenang pengelolaan hutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34, diwajibkan melindungi hutan dalam areal kerjanya. c. Pasal 49 Undang-Undang Tahun 1999 tentang Kehutanan “Pemegang hak atau izin bertanggung jawab atas terjadinya kebakaran hutan di areal kerjanya” d. Pasal 68 huruf b dan huruf c Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup 31 “setiap orang yang melakukan usaha dan/atau kegiatan berkwajiban a. …………………………………………………………………… 2. Menjaga keberlanjutan fungsi lingkungan hidup; 3. Menaati ketentuan tentang baku mutu lingkungan hidup dan/atau kriteria baku kerusakan lingkungan hidup.” e. Pasal 69 ayat 1 huruf h Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup “setiap orang dilarang melakukan pembukaan lahan dengan cara membakar” f. Pasal 11 Peraturan Pemerintah No. 150 Tahun 2000 tentang pengendalian Kerusakan Tanah untuk Produksi Biomassa “setiap penanggungjawab usaha dan/atau kegiatan yang dapat menimbulkan kerusakan tanah untuk produksi biomassa wajib melakukan upaya pencegahan kerusakan tanah” g. Pasal 13 Peraturan Pemerintah No. 4 Tahun 2001 tentang Pengendalian Kerusakan dan atau Pencemaran Lingkungan Hidup yang Berkaitan dengan Kebakaran Hytan dan atau Lahan “setiap penanggung jawab usaha yang usahanya dapat menimbulkan dampak besar dan penting terhadap kerusakan dan atau pencemaran lingkungan hidup yang berkaitan dengan kebakaran hutan dan atau lahan wajib mencegah terjadinya kebakaran hutan dan atau lahan di lokasi usahanya” 32 h. Pasal 10 Peraturan Pemerintah No. 45 Tahun 2004 tentang Perlindungan Hutan “1 Perlindungan hutan pada hutan hak, dilaksanakan dan menjadi tanggung jawab pemegang hak 2 Perlindungan hutan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 meliputi kegiatan antara lain a. pencegahan ganggian dari pihak lain yang tidak berhak; b. Pencegahan pemadaman dan penanganan dampak kebakaran; c. Penyediaan personil dan sarana prasarana perlindungan hutan; d. Mempertahankan dan memelihara sumber air; e. Melakukan kerja sama dengan sesama pemilik hutan hak, pengelola kawasan hutan, pemegang izin pemanfaatan hutan, pemegang izin pungutan, dan masyarakat” i. Pasal 30 Peraturan Pemerintah No. 45 Tahun 2004 tentang Perlindungan Hutan “1 Pemegang izin Pemanfaatan Hutan, Pemagang Izin Penggunaan Kawasan Hutan atau Pemilik Hutan Hak bertanggung jawab atas terjadinya kebakaran hutan di areal kerjanya 2 Pertanggungjawaban sebagaimana dimaksud pada ayat 1 meliputi 33 a. Tangggung jawab pindana; b. Tanggun jawab perdata; c. Membayar ganti rugi; dan/atau administrasi E. Analisis 1. Analisis pertanggungjawaban perdata suatu perusahaan dalam hal ganti kerugian terhadap kebakaran lahan miliknya sebagaimana diputus dalam Putusan Pengadilan Tinggi Palembang No. 51/PDT/2016/ Bahwa Penggugat / Pembanding mengajukan gugatan perdata terhadap perbuatan Tergugat / Terbanding yang berakibat kepada pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan, sehingga unsur kerusakan lingkungan harus dibuktikan. Penggugat / Pembanding juga menyatakan bahwa Tergugat / Terbanding wajib bertanggung jawab atas kerusakan tanah gambut yang ditimbulkan oleh kebakaran di atas lahan perkebunan milik Tergugat / Terbanding. Sedangkan menurut Tergugat / Terbanding, dalil dari Penggugat / Pembanding mengenai kerusakan tanah gambut tidak benar karena kenyataannya dibeberapa lahan yang didalilkan terbakar oleh Penggugat / Pembanding telah dilakukan penanaman akasia kembali oleh Tergugat / Terbanding dan menunjukkan bahwa tanaman akasia tersebut tumbuh normal serta senyatanya areal bekas terbakar tidak terjadi kerusakan lahan dan lahan gambut masih berfungsi normal sebagai penyimpanair yang bersifat hidrofilik maupun sebagai medium bagi berbagai proses mikrobiologis yang mendukung kesuburannya. 34 Selanjutnya menurut dalil Penggugat / Pembanding yang mengambil pendapat Dr. Ir BASUKI WASIS, Msi. secara ilmiah terjadi kerusakan lahan gambut atau lahan basah akibat kebakaran tersebut, dan dengan menyandingkan pendapat ahli BASUKI SUMAWINATA dan Dr. GUNAWAN DJAJAKIRANA serta Laporan Kunjungan Lapang lahan bekas kebakaran di tempat Tergugat / Terbanding, disebutkan dari hasil pengamatan lapang dan hasil laboratorium, sebagai scientific evidence tidak ada indikasi bahwa tanah telah rusak dan lahan masih berfungsi dengan baik sesuai dengan peruntukannya sebagai lahan Hutan Tanaman Industri. Bahwa mengenai kerugian Ekologis, kebakaran yang terjadi juga tidak menyebabkan peningkatan pH maupun unsur hara lain seperti Ca, Mg danK secara nyata. Kebakaran yang terjadi memang menurunkan kandungan organik tanah dimana pada tanah mineral yang terbakar melebihi i kandungan C-organik namun disimpulkan tidak terjadi kepunahan/ kerusakan sifat biologis tanah, sebagaimana keterangan ahli Dr. Ir. BASUKI SUMAWINATA dan Dr. Ir. GUNAWAN DJAJAKIRAN Dari hasil sidang pemeriksaan juga ditemukan dengan jelas bahwa di tempat di atas bekas lahan yang terbakar tersebut tanaman akasia dapat tumbuh kembali secara baik, Bahwa apabila disimak secara cermat hal – hal tersebut di atas, jelaslah akan terlihat bahwa dalil Penggugat / Pembanding tentang kerusakan lingkungan / tanah gambut yang diakibatkan kebakaran / kerusakan tidak terbukti sehingga keberatan – keberatan yang diajukan oleh Tergugat / Terbanding mengenai dalil 35 Penggugat / Pembanding tentang kerusakan lingkungan / tanah gambut yang diakibatkan kebakaran / kerusakan dapat diterima. Bahwa mengenai Perbuatan Melawan Hukum yang digugat oleh Penggugat / Pembanding kepada Tergugat / Terbanding dalam perkara ini, Hakim Ketua Majelis sependapat dengan pendapat Ahli yang diajukan Penggugat / Pembanding dalam hal ini Dr. H. ATJA SONJAYA, yang menyampaikan bahwa dalam pertanggung jawaban mutlak Penggugat tidak perlu membuktikan bahwa itu merupakan kesalahan, tetapi Tergugat juga diberi perlindungan untuk memberi keterangan bahwa itu bukan merupakan perbuatannya karena merupakan force majore. Bahwa dalam hal mentukan kelalaian ada unsur sengaja atau lalai, tetapi dalam hal force majore bukan karena kesalahan tetapi karena kejadian diluar kemampuan manusia yang tidak mungkin untuk menghindar,sehingga pertanggung jawabannya tidak bisa dibebankan kepada seseorang. Bahwa apabila pelaku usaha sudah menyediakan sarana dan prasarana yang telah sesuai dengan peraturan perundang-undangan dan terjadi kebakaran bukanlah merupakan perbuatan melawan hukum yang tidak mungkin untuk menghindar,sehingga pertanggung jawabannya tidak bisa dibebankan kepada seseorang. Bahwa apabila pelaku usaha sudah menyediakan sarana dan prasarana yang telah sesuai dengan peraturan perundang-undangan dan terjadi kebakaran bukanlah merupakan perbuatan melawan hukum. Bahwa dari keterangan saksi-saksi dan ahli bahwa periode terjadi kebakaran terutama bulan September dan Oktober 2014 pada waktu itu jumlah hujan dan hari hujan sangat rendah menyebabkan daerah ini dalam kondisi kering, 36 berdampak pada meningkatnya potensi kebakaran, penyebaran api cepat meluas karena dinamika angin, persebaran udara panas bercampur dengan udara yang belum panas/ turbulensi, sehingga sulit diprediksi dan tidak dapat dikendalikan, termasuk oleh sekat bakar dan kanal. Bahwa pihak Tergugat / Terbanding sudah berusaha untuk melakukan pemadaman api di wilayah kebakaran, akan tetapi berdasarkan keterangan saksi saksi antara lain SUJICA WANAKUSUMAH LUSAKASaksi dari Tergugat / Terbanding bahwa penyebaran api begitu cepat dan meluas, Tergugat / Terbanding juga telah mengambil langkah melakukan pemadaman dengan personil pemadam kebakaran yang ada di PT. Bumi Mekar Hijau dan telah melakukan pelaporan ke pihak yang berwajib sesuai Laporan polisi tanggal 8 September 2014 ke Polsek Tulung Selapan, saksi MAKMUNSaksi dari Penggugat / Pembanding telah memberikan keterangan bahwa kebakaran berasal dari lahan masyarakat, namun penyebabnya tidak tahu, disamping itu kebiasaan masyarakat setempat yang berbatasan dengan wilayah konsesi Tergugat / Terbanding pada musim kemarau sering membakar belukar dan tanaman gelam/sistem sonor untuk menam padi. Dengan melihat poin – poin sebelumnya, telah terbukti bahwa Tergugat / Terbanding bukan merupakan pelaku yang sengaja menyebabkan kebakaran, juga telah terbukti bahwa Tergugat / Terbanding sudah menyediakan sarana prasarana pengendalian kebakaran yang sesuai dengan peraturan perundang-undangan sehingga menurut Hakim Ketua Majelis Tergugat / Terbanding tidak dapat dikenakan dengan pelanggaran pasal 87 Undang-undang Nomor 32 37 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup juncto. Pasal 88 Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan / Terbanding juga tidak terbukti melakukan pelanggaran atas Pasal 1365 KUH Perdata karena tidak terpenuhinya syarat-syarat perbuatan melawan hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1365 KUH Perdata, yang pertama adalah berbuat atau tidak berbuat. Unsur kedua, berbuat atau tidak berbuat itu menimbulkan kerugian ketiga, kerugian itu terjadi karena kesalahannya serta keempat antara kerugian dan kesalahan itu harus ada hubungan kausal dimana Tergugat / Terbanding tidak terbukti melakukan perbuatan yang menyebabkan kebakaran dan atau lalai dalam menyediakan sarana prasarana pengendalian kebakaran dan atau membiarkan kebakaran terjadi dan justru Tergugat / Terbanding lah yang mengalami kerugian dengan adanya kebakaran. Dalam penjelasan sebelumnya telah dijelaskan kemungkinan kemungkinan yang digunakan untuk kasus kebakaran hutan. Pertama dalah Perbuatan Melawan Hukum. Sebagaimana dalam Pasal 1365 KUHPerdata atau Pasal 87 Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Di dalam pertanggungjawaban PMH penggugat perlu membuktikan beberapa unsur. Pertama, harus dibuktikan bahwa tergugat telah melakukan perbuatan yang melanggar hukum. Pelanggaran hukum ini dapat ditujukkan dengan berbagai cara. Pada satu sisi, penggugat misalnya dapat menunjukkan adanya pelanggaran terhadap kewajiban hukum tergugat. Dalam hal ini, kewajiban tersebut terutama terkait 38 pencegahan dan penanggulangan kebakaran hutan atau lahan. Pada sisi lain, apabila memungkinkan pelanggaran hukum ini dapat pula ditujukkan denga adanya kegiatan pembakaran hutan/lahan dalam rangka pembukaan atau pengelolaan hutan/lahan. Dapat dianalisis bahwa penggugat sendiri sebenarnya akan mengalami kesulitan yang lebih besar untuk membuktikan adanya pelanggaran terhadap larangan yaitu adanya kegiatan pembakaran, dibandingkan dengan kesulitan untuk membuktikan adanya pelanggaran kewajibann yaitu adanya kegagalan untuk melakukan pencegahan atau penanggulangan kebakaran Sebagaimana Pandangan yang dikemukakan oleh Agustina pada saat mendiskusikan pandangan Vollmar mengenai kesalahan secara subjektif dan secara objektif, yang mana apabila diaritkan sebagai kesalahan secara objektif maka kesalahan dianggap ada apabila pelaku melakukan perbuatan secara lain dari apa yang seharusnya ia lakukan. Dalam hall ini “kesalahan dan sifat melawan hukum menjadi satu”, dirasa penerapan pembuktian secara subjektif dalam PMH tidak tepat dibandingkan secara objektif, dikarenakan kesalahan telah terbukti dengan terbuktinya perbuatan yang melanggar hukum. Apabila pada satu sisi pembuktian unsur kesalahan secara objektif dianggap sulit karena informasi terkait hal ini hanya dikuasai oleh tergugat, sedangkan pada dsisi lain kerugian dianggap hanya akan timbul karena adanya kesalahan, maka hakim sebenernya dapat mengadopsi res ipsa liquitur atau pembuktian secara terbalik yang dilakukan oleh Terugat dimana ia harus membuktikan bahwa dirinya tidak melakukan kesalahan. 39 Kedua, penggugat perlu membuktikan adanya kerugian. Khusus untuk besaran kerugian lingkungan, merujuk pada Peraturan Menteri Lingkungan Hidup No. 13 Tahun 2011 tentang Ganti Kerugian Akibat Pencemaran dan/atau Kerusakan Lingkungan Hidup, Peratuan Menter Lingkungan Hidup Nomor 14 Tahun 2012 tentang Panduan Valuasi Ekonomi Ekosistem Gambut, dan Peraturan Menteri Lingkungan Hidupn No. 15 tahun 2012 tentang Panduan Valuasi Ekonomi Ekosistem Hutan. Ketiga, penggugat perlu pula membuktikan adanya bukti kausalitas antara kerugian dan kebakaran hutan yang dilakukan oleh tergugat. 2. Analisis hakim telah menerapkan perluasan implementasi doktrin stricliability dalam Putusan Pengadilan Tinggi Palembang No. 51/PDT/2016/ Majelis Hakim Tingkat pertama sneyatanya telah keliru dalam menilai fakta yang terungkap di persidangan maupun dalam kesimpulan penerapan hukumnya, khususnya mengenai dinyatakan gugatan Penggugat/Pembanding ditolak dengan pertimbangan bahwa Tergugat tidak terbukti melakukan Perbuatan Melawan Hukum dan Majelis Hakim Pengadilan Negeri Palembang tidak mempertimbangkan bahwa perkara gugatann Pencemaran Lingkungan Hidup haruslah ditangani secara khusus. Senyatanya dengan pertimbangan Majelis Hakim Pengadilan Tinggi Palembang telah mendasarkan pertimbangan tidak semata-mata pada Perbuatan Melawan Hukum, tetapi juga pada tanggung jawab mutlak 40 strict liability. Teori tersebut mengisyaraktkan bahwa, seseorang yang kegiatan usahanya menimbulkan ancaman serius terhadap linglungan hidup bertanggung jawab atas kerugian yang muncul dari kegiatan tersebut, meskipun orang tersebut tidak melakukan Perbuatan Melawan Hukum. Dengan demikian, di dalam tanggung jawab mutlak strict liability, tidak terpenuhinya unsur melawan hukum tidaklah melepaskan Tergugat/Terbanding dari tanggung jawab perdata. Serta berpijak pada Surat Keputusan Mahkamah Agung No. 36/KMA/SK/II/2013 Tentang Pemberlakuan Pedoman Penanganan Perkara Lingkungan Hidup, dalam perkara a quo Seharusnya Berlaku Tanggung Jawab Mutlak strict liability terkait dengan suatu ancaman serius terhadap lingkugan hidup seharusnya berlaku yanggung jawab mutlak. Tergugat disinipun memang membenarkan bahwa lahan di wilayah usaha yang dikuasainya telah terjadi kebakaran yang dampaknya mengakibatkan pencemaran dan/atau Kerusakan Lingkungan Hidup dan Tergugat/Terbanding mengemukakan bahwa kebakaran itu timbul oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab namun senyatanya disini hakim mempertimbangkan selaku pelaku usaha dimana lahan yang dikuasinya telah terjadi kebakaran yang dampaknya mengakibatkan pencemaran dan/atau Kerusakan Lingkungan Hidup maka Tergugat/Terbanding harus bertanggung jawab atas Kerusakan Lingkungan Hidup tanggung jawab mutlak/strict liability Merujuk pada Pasal 48 ayat 3 UU No. 41 Tahun 1999, Pasal 49 UU Tahun 1999, Pasal 68 huruf b dan c UU Tahun 2009, Pasal 11 PP No. 150 Tahun 2000, Pasal 13 PP No. 4 Tahun 2001, Pasal 41 10 PP No. 45 Tahun 2004, Pasal 30 PP No. 45 Tahun 2004 yang telah disimpulkan oleh hakim merupakan peraturan yang menyebutkan bahwa kewajiban melekat pada pemegang izin. Intinya pemegang izin pemanfaatan hutan dan pemegang izin pengguna hutan atau pemilik hutan bertanggung jawab atas terjadinya kebakaran hutan diareal kerjanya dan tidak usah ditanya siapa yang membakar lahan/hutan tersebut. F. Kesimpulan dan Saran 1. Kesimpulan a Senyatanya implementasi prinsip strict liability dalam kasus gugatan ganti rugi akibat adanya kebakaran lahan pada kawaan izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu hutan tanaman industri IUPHHK-HTI milik PT Bumi Mekar Hijau tidak sesuai dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2009 tentang Pengelolaaan Lingkungan Hidup, akan tetapi telah sesuai dengan semangat dan tujuan implementasi prinsip strict liability dalam standar internasional, sehingga putusannya telah memenuhi rasa keadilann secara umum. b Putusan telah memberikan hal positif yaitu bagaimana syatu pertanggung jawaban hukum suatu perusahaan dengan merujuk pada Pasal 88 UU No, 32 Tahun 2009. Pertanggung jawaban memanang mensyarakatkan bahwa kegiatan tersebut harus abnormally dangerous. Dalam hal ini, Mahkamah Agung RI menyatakan bahwa “ancaman serius” adalah “terjadinya pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup yang dampaknya berpotensi tidak dapat dipulihkan kembali dan/ atau komponen- 42 komponen lingkungan hidup yang terkena dampak sangat luas, seperti kesehatan manusia, air permukaan, air bawah tanah, tanah, udara, tumbuhan, dan hewan c Bahwa strict liability sudah diterapkan dalam beberapa putusan dan diadopsi di dalam peraturan perundangan-undangan di negara-negara dengan sistem civil law. Dengan demikian keliru pandangan yang menyatakan bahwa pertanggungjawaban ini tidak tepat untuk diterapkan di Indonesia yang menganut civil law d Srict liability tidak hanya menghilangkan unsur kesalahan subjektif berupa kesengajaan atau kelalaian dari PMH, tetapi juga unsur kesalahan objektif berupa perbuatan yang melanggar hukum. Dengan demikian, penerapan strict liabiity pada sebuah kasus membawa konsekuensi bahwa di dalam kasus tersebut yang perlu dibuktikan hanyalah adanya kerugian dari penggugat dan kausalitas antara kegiatan tergugat dengan kerugian penggugat. Strict liabiity hanya diterapkan pada kegiatan/usaha yang sangat berbahaya ultra hazardous/ abnormally dangerous activity. Seseorang yang kegiatan/usahanya bersifat sangat berbahaya, bertanggungjawab atas kerugian yang muncul dari kegiatan/usaha tersebut, meskipun dalam melakukan kegiatan/ usahanya ia tidaklah melakukan perbuatan melawan hukum 2. Saran Dalam melakukan penerapan terhadap suatu perbuatan yang merugikan suatu lingkungan senyatanya tidak dapat hanya diterapkan 43 Pasal 1365 KUHPerdata dikarenakan kebakaran merupakan masalah serius yang mengakibatkan ekosistem di dalam suatu hutan akan rusak, dan fungsi dari tanah akan berkurang. Seharusnya hakim lebih cermat dan menganggap bahwa suatu Lingkungan harusnya diterapkannya prinsip kehati-hatian bagi pelaku usaha yang memegang izin. 44 DAFTAR PUSTAKA A. Buku Mochtar Kusumaatmadja, Konsep-Konsep Hukum dalam Pembangunan, Bandung Alumni, 2006 Mochtar Kusumaatmadja dan B. Arief Sidharta, Pengantar Ilmu Hukum Suatu Pengenalan Pertama Ruang Lingkup Berlakunya Ilmu Hukum, Bandung PT Alumni, 2013 Munadjat Danusaputro, Hukum Lingkungan Buku I, Bandung Bina Cipta, 1980 Poerwadamita, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta, 1976, hlm. 1014 Sudikno Mertokusumo, Penemuan Hukum, Yogyakarta Cahaya Atma Pustaka, 2014 MA. Moegni Djododirjo, Perbuatan Melawan Hukum, Jakarta Pradnyna Paramita, 1979 Volmar, Pengantar Studi Hukum perdata, Jakarta Pradyna Pramita, 2000 Abdulkadir Muhammad, Hukum Perikatan, Bandung Citra Bakti, 1992 Achmad Ichsan, Hukum Perdata, Jakarta PT Pembimbing masa, 1969 Munir Fuandy, Perbuatan Melawan Hukum Pendekatan Kontemporer, BanudngPT Citra Aditya Bakti, 2005 Muhammad Akiba, Hukum Lingkungan Perspektif Gloal dan Nasional, JakartaPT Raja Grafindo Persada, 2014 Dwidja Priyatno, Kebijakan Legislasi Tentang Sistem Pertanggung jawaban Pidana Korporasi di Indonesia, Bandung Utomo, 2004 SIahaan, Hukum Lingkugan dan Ekologi Pembangunan, Jakarta Erlangga, 2001 Koesnadi Hardjasoemantri, Hukum Tata Lingkungan, edisi XIII, cet XIX, Jogjakarta Gadjah Mada University Press, 2006 Syahrul Machmud, Penegakan Hukum dan Perlindungan Hukum, Bandung Mandar Maju, 2008 M. Nur Rasaid, Hukum Acara Perdata, cet. III, Jakarta Sinar Grafika Offset, 2003 45 Sudikno Mertokusumo. 2006. Hukum Acara Perdata Indonesia. Edisi ketujuh. Yogyakarta Liberty. Sarwono. 2011. Hukum Acara Perdata Toeri dan Praktik. Jakarta Sinar Grafika B. Peraturan Perundang-Undangan Republik Indonesia. Undang-Undang Dasar 1945 -. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata KUHPer C. Jurnal Khairunnisa, Kedudukan, Peran, dan Tanggung Jawab Hukum Direksi, Medan Pasca Sarjana, 2008 Rosa Agustina, Perbuatan Melawan Hukum, Jakarta Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2003 D. Internet Federick, J, Pinukunary, Mengkaji Gugatan PMH dalam Kasus Perusakan Lingkungan di Porong, Sidoarjo, www. Winda Ayu A., Penerapan “Strict Liability” dalam Penegakan Hukum Lingkungan di Indonesia, diakses melalui Khairunnisa, Kedudukan, Peran, dan Tanggung Jawab Hukum Direksi, Medan Pasca Sarjana, 2008 Rosa Agustina, Perbuatan Melawan Hukum, Jakarta Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2003 ResearchGate has not been able to resolve any citations for this DanusaputroMunadjat Danusaputro, Hukum Lingkungan Buku I, Bandung Bina Cipta, 1980Moegni DjododirjoMA. Moegni Djododirjo, Perbuatan Melawan Hukum, Jakarta Pradnyna Paramita, 1979Hukum Lingkungan Perspektif Gloal dan Nasional, JakartaPT Raja Grafindo PersadaMuhammad AkibaMuhammad Akiba, Hukum Lingkungan Perspektif Gloal dan Nasional, JakartaPT Raja Grafindo Persada, 2014Kebijakan Legislasi Tentang Sistem Pertanggung jawaban Pidana Korporasi di IndonesiaDwidja PriyatnoDwidja Priyatno, Kebijakan Legislasi Tentang Sistem Pertanggung jawaban Pidana Korporasi di Indonesia, Bandung Utomo, 2004Nur RasaidM. Nur Rasaid, Hukum Acara Perdata, cet. III, Jakarta Sinar Grafika Offset, 2003Hukum Acara Perdata Indonesia. Edisi ketujuhSudikno MertokusumoSudikno Mertokusumo. 2006. Hukum Acara Perdata Indonesia. Edisi ketujuh. Yogyakarta Acara Perdata Toeri dan PraktikSarwonoSarwono. 2011. Hukum Acara Perdata Toeri dan Praktik. Jakarta Sinar Grafika B. Peraturan Perundang-Undangan Republik Indonesia. Undang-Undang Dasar 1945Strict Liability" dalam Penegakan Hukum Lingkungan di IndonesiaWinda AyuA PenerapanWinda Ayu A., Penerapan "Strict Liability" dalam Penegakan Hukum Lingkungan di Indonesia, diakses melalui
Perbuatan Melawan Hukum diatur dalam Pasal 1365 s/d Pasal 1380 KUH Perdata. Indonesia merupakan negara hukum, kasus hukum yang terjadi di Indonesia sendiri memang tak pernah ada habisnya. Pelanggaran hukum seakan tak pandang bulu, karena bisa dilakukan oleh siapa saja, baik itu pejabat publik, artis, hingga rakyat biasa yang tinggal di desa. Jenis hukum di Indonesia sendiri dibagi ke dalam dua kategori, yakni hukum publik dan hukum privat. Kedua jenis hukum tersebut mempunyai turunan berupa hukum pidana dan hukum perdata. Kasus hukum perdata di bulan-bulan awal 2021 cukup banyak diterjadi. Contoh kasus hukum perdata banyak terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Kasus tersebut banyak menimpa hubungan antar keluarga, perkawinan/asmara, hingga pencemaran nama baik. Sebagai warga yang tinggal di negara hukum, baiknya teman Bizlaw perlu tahu nih informasi mengenai hukum perdata beserta contoh kasusnya. Pengertian Hukum Perdata Pengertian Hukum Perdata Hukum perdata berbeda dengan hukum pidana. Hukum perdata mengatur ranah hubungan antar masyarakat, antar individu atau kepentingan perseorangan. Kata hukum’ merujuk pada seperangkat aturan. Sedangkan perdata’ berarti pengaturan hak, harta benda, dan hubungannya dengan individu atau banda hukum. Penerapan hukum perdata berdasarkan asas logika, dengan tetap memperhatikan norma masyarakat. Sejarah Hukum Perdata di Indonesia Hukum perdata muncul pertama kali di Indonesia dari bahasa Belanda Burgelijk Recht’. Belanda mengambil aturan tersebut dari hukum Eropa kontinental yang masuk dalam hukum Perdata Romawi. Ketika Belanda memerintah Hindia Belanda, hukum perdata tersebut juga diterapkan di Indonesia. Sumber hukum tersebut kemudian dikodifikasikan dalam Burgelijk Wetboek. Lalu diterjemahkan ke dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata KUH Perdata. Pada tahun 1948, Kitab Undang-undang tersebut diberlakukan secara resmi di Indonesia atas dasar asas concordantie asas politik. Penerapan aturannya kemudian di sesuaikan dengan norma dan kultur masyarakat di Indonesia. Setelah itu, hukum perdata mengalami banyak proses perubahan. Perbuatan Melawan Hukum diatur dalam Pasal 1365 s/d Pasal 1380 KUH Perdata. Pasal 1365 KUHPerdata berbunyi “Tiap perbuatan melanggar hukum, yang membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut.” Sanksi Hukum Perdata Pelanggaran dalam hukum perdata akan mendapatkan sanksi berupa ganti rugi dari pihak penuntut atau permintaan lain yang diajukan. Dalam mengajukan gugatan, penuntut harus membawa barang bukti, misalnya akta tanah atau jual beli, kontrak kerja sama, dan sebagainya. Contoh Hukum Perdata Hukum perdata banyak terjadi dalam kasus-kasus keluarga, rumah tangga, pekerjaan, jual-beli, hingga identitas diri. Berikut contoh-contohnya. Hukum Perkawinan Ada hukum yang mengatur hubungan perkawinan. Hukum perkawinan termuat dalam UU No. 1 Tahun 1974. Aturan tersebut masuk dalam hukum perdata karena melibatkan hubungan antar individu, yakni suami dan istri. Pengaturan perkawinan sangat penting untuk mencegah tindak pelanggaran dalam hubungan rumah tangga, seperti KDRT, pernikahan di bawah umur, perceraian, hingga hak asuh anak. Hukum waris Aturan mengenai harta warisan juga masuk ke dalam hukum perdata. Hukum tersebut sangat penting untuk menjawab kasus-kasus, seperti rebutan harta warisan oleh anak dari pihak keluarga. Di dalam hukum ini akan diatur wajisat, pihak yang berhak menerima dan menolak warisan, fidei-commis, legitieme portie, warisan yang tidak terurus, hak mewarisi, pembagian waris, executeur-testamentair dan bewindvoerder. Hukum Keluarga Tak hanya perkawinan, hubungan keluarga pun diatur dalam hukum perdata. Contoh hukum perdata keluarga pada umumnya mengurus hukum keturunan, kekuasaan orangtua, perwalian, pendewasaan, hingga orang hilang. Hukum Kekayaan Perosalan yang menyangkut kekayaan diurus dalam hukum perdata. Contoh hukum perdata kekayaan, yakni pembagian harta suatu perusahaan atau lembaga, pembagian inventaris objek atau barang, mencari solusi ketika ada masalah dalam pembagian kekayaan. Hukum Pencemaran Nama Baik Kasus yang menyangkut identitas diri, seperti pencemaran nama baik akan diurus dalam hukum perdata. Hukum tersebut akan mengatur tuntutan dari pihak korban kepada pelaku yang menyalahgunakan identitasnya. Kasus-kasus hukum perdata ini kini banyak terjadi di media sosial. Contoh kasusnya berupa hoaks tokoh publik figur, nama baik artis, komentar negatif. Baca juga Sumber-Sumber Hukum Acara Perdata Contoh Kasus Contoh Kasus PT DP Vs. TST Bahwa Penggugat sebagai Pengembang real estate pada 19 Januari 1996 telah melakukan Perjanjian Pengikatan Jual Beli Kios dengan NL. Kemudian pada 1 September 1997 NL menjual/mengalihkan kepemilikan kios tersebut kepada EN dan selanjutnya EN menjual/mengalihkan kepemilikan kios tersebut kepada TST tergugat. Bahwa karena TST merasa bahwa penggugat melakukan penipuan terhadap tergugat atas status HGB. Kemudian pada 14 Oktober 2006 ia mencurahkan keluh kesahnya dengan menulis surat di salah satu media harian yang ditujukan kepada Pengurus PPRS ITC Mangga Dua, dimana pada poin 5 lima surat tersebut mengatakan Developer PT. Duta Pertiwi Tbk. “telah melakukan penipuan” yaitu tanah milik bersama ITC M2 dengan status HGB murni ternyata baru diketahui adalah HGB diatas HPL milik Pemda DKI; Selanjutnya tergugat pada 9 November 2006 tergugat membuat laporan ke Polda Metro Jaya yang mana laporan tersebut telah dihentikan penyidikannya krena tidak cukup bukti. Bahwa menurut Penggugat, perbuatan Tergugat yang nyata-nyata dan dengan disengaja melakukan penghinaan atau pencemaran nama baik secara lisan maupun secara tertulis yang bertujuan untuk merusak atau menyerang nama baik atau melanggar kehormatan Penggugat merupakan perbuatan melawan hukum. Nora Alexandra Melaporkan Akun yang Mencatut Fotonya Nora Alexandra melaporkan pencemaran baiknya ke Direktorat Kriminal Khusus pada 1 Maret 2021. Ia menuntut pemilik akun WhatsApp yang menggunakan nama dan fotonya untuk berkenalan dengan pria. Kasus Nora tersebut termasuk ke dalam hukum perdata karena menyangkut pencemaran nama baik. Dalam kasus tersebut Nora merasa terganggu, karena tindakan pencemaran nama baiknya berpotensi merusak hubungan rumah tangganya. Sehingga dapat disimpulkan perbuatan tersebut merupakan perbuatan melawan hukum. Contoh Pasal dalam KUHPerdata Berikut ini adalah contoh-contoh pasal yang termuat dalam KUHPerdata. Pasal 570 “Hak milik adalah kepemilikan untuk menikmati kegunaan suatu kebendaan dengan leluasa dan untuk berbuat bebas terhadap kebendaan itu dengan kedaulatan sepenuhnya, asal tidak bertentangan dengan Undang-Undang, ketertiban umum tanpa menggaggu hak orang lain.” Pasal 1320 “Persetujuan diperlukan empat syarat Sepakat mereka yang mengikatkan diri; Kecakapan dalam membuat ikatan; Suatu hal tertentu dengan sebab yang halal.” Pasal 1338 “Semua persetujuan yang dibuat secara sah berlaku sebagai sebuah undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Persetujuan tersebut tak dapat ditarik kembali selain dengan kesepakatan kedua belah pihak, atau karena alasan-alasan yang oleh undang-undang dinyatakan cukup untuk itu.” Hubungi Bizlaw Anda tertimpa masalah hukum? Hubungi Bizlaw! tim pengacara kami akan membantu anda secara profesional dengan modal pengalaman kurang lebih 15 tahun lamanya. Bizlaw siap membantu anda. Segera hubungi kami! Email info WhatsApp 0811-9298-182
Dengan kata lain bahwa perbuatan melawan hukum onrechtmatige daad sama dengan melawan undang-undang onwetmatige daad. Aliran ini ditandai dengan Arrest Hoge Raad 6 Januari 1905 dalam perkara Singer Naaimachine. Perkara bermula dari seorang pedagang menjual mesin jahit merek "Singer" yang telah disempurnakan. Padahal mesin itu sama sekali bukan produk Singer. Kata-kata "Singer" ditulis dengan huruf yang besar, sedang kata-kata yang lain ditulis kecilkecil sehingga sepintas yang terbaca adalah "Singer" saja. Ketika pedagang itu digugat di muka pengadilan, antara lain mengatakan bahwa perbuatan pedagang itu bukanlah merupakan tindakan melawan hukum karena tidak setiap tindakan dalam dunia usaha, yang bertentangan dengan tata krama dalam masyarakat dianggap sebagai tindakan melawan hukum. Pada putusan berikutnya, Hoge Raad berpendapat sama dalam kasus Zutphense Juffrouw. Perkara yang diputuskan tanggal 10 Juni 1910 itu bermula dari sebuah gudang di Zutphen. Iklim yang sangat...
Ketentuan mengenai perjanjian diatur dalam Pasal 1313 Kitab Undang undang Hukum Perdata KUHPerdata. Menurut KUHPerdata, suatu perjanjian terjadi ketika telah adanya kata sepakat consensus dari kedua pihak dan kesepakatan itu mengikat pihak yang membuatnya layaknya undang-undang. Akan tetapi, adakalanya pelaksanaan perjanjian tidak berjalan sesuai yang dikehendaki kedua belah pihak dimana salah satu pihak tidak menjalankan perjanjian dengan sempurna. Dalam hukum perikatan hal ini dikenal dengan istilah cidera janji atau wanprestasi. Layaknya sebuah perjanjian, ketentuan mengenai Perbuatan Melawan Hukum juga diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata. Perbuatan yang melawan hukum adalah perbuatan yang mengakibatkan kerugian bagi orang lain, dan mewajibkan orang yang melakukan perbuatan melawan hukum tersebut untuk mengganti kerugian. Pengertian ini secara jelas menyebutkan akibat dari adanya perbuatan melawan hukum tersebut adalah mewajibkan orang yang berbuat untuk mengganti kerugian tersebut. Discover the world's research25+ million members160+ million publication billion citationsJoin for free Analisis Terhadap Kasus Gugatan Wanprestasi Dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor 2239 K/Pdt/2020 dan Perbuatan Melawan Hukum Dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor 2036 K/Pdt/2019 Ditujukan untuk memenuhi ujian tengah semester mata kuliah Hukum Perikatan DOSEN PENGAMPU Dwi Aryanti Ramadhani, DISUSUN OLEH Nilla Deva Lusyana 2010611003 Kelas A PROGRAM STUDI HUKUM FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL “VETERAN” JAKARTA 2021 Analisis Kasus Wanprestasi Perjanjian Jual Beli dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor 2239 K/Pdt/2020 I. Nomor Putusan Putusan Mahkamah Agung Nomor 2239 K/Pdt/2020 II. Identitas para pihak i. Ayunita Purnamasari, diwakilkan oleh kuasa hukum Aman Susanto, SHI., MH., M. Hasan, SHI., Ali Ridlo, SHI, MEI., Sahril Fadli, SHI., MHI., Kharis Mudakir, SHI., MH., Advocates & Legal Consultants sebagai Penggugat ii. Wakhid Budi Triyono sebagai Tergugat III. Objek Perjanjian Objek jual beli mengenai wanprestasi dalam perkara perjanjian jual beli ini adalah sebuah rumah dengan luas bangunan 40 m2 empat puluh meter persegi type 40 empat puluh yang berdiri di atas sebidang tanah seluas 81 m2 delapan puluh satu meter persegi yang terletak di Dusun Wonosalam Desa Sukoharjo, Kecamatan Ngaglik, Kabupaten Sleman, dengan nomor kavling B1. IV. Kasus Posisi / Kronologis Tanggal 30 Oktober 2017 Penggugat mendaftarkan surat gugatan ke Kepaniteraan Pengadilan Negeri Sleman dalam register Nomor 264/ Smn tentang duduk perkara Penggugat berniat membeli tanah beserta rumah yang berdiri diatasnya. Kemudian Penggugat mencari informasi melalui teman maupun media cetak dan mendapat informasi bahwa Tergugat pada waktu itu berniat menjual tanah dan menyanggupi bangunan rumah di atasnya. Tergugat menawarkan tanah sekaligus menyanggupi bangunan rumah di atasnya dengan luas 40 m2 type 40 yang berdiri di atas tanah seluas 81 m2 yang terletak di Dusun Wonosalam Desa Sukoharjo, Kecamatan Ngaglik, Kabupaten Sleman, dengan nomor kavling B1 sebagaimana sertifikat Hak Milik Nomor 7746/Sukoharjo atas nama Wakhid Budi Triyono kepada Penggugat dengan harga Rp. dua ratus sepuluh juta rupiah. Atas tawaran tersebut, Penggugat tertarik untuk membeli tanah beserta rumah di atasnya sebagaimana rincian tersebut. Pada tanggal 10 Maret 2015, Penggugat menandatangani surat Perjanjian Pendahuluan Perikatan Jual Beli dengan Nomor 004/GW/PP/KT/03/2015 dimana Penggugat sebagai pembeli dan Tergugat sebagai penjual dengan objek jual beli sesuai dengan rincian bangunan dan rumah diatas. Penggugat dan Tergugat telah membuat kesepakatan yang dituangkan pada Perjanjian Pendahuluan Perikatan Jual Beli dengan Nomor 004/GW/PP/KT/03/2015. Dimana sebagian isi dari kesepakatan tersebut adalah Bahwa Penggugat sepakat membeli tanah beserta bangunan rumah di atasnya dari Tergugat dengan harga Rp. Secara Angsuran dengan rincian sebagai berikut Booking Fee = Rp tanggal 27 Februari 2015 Angsuran I = Rp tanggal 10 Maret 2015 Angsuran II = Rp tanggal 20 Maret 2015 Angsuran III = Rp tanggal 06 Mei 2015 Angsuran IV = Rp tanggal 06 Juni 2015 Angsuran V = Rp tanggal 06 Juli 2015 Angsuran VI = Rp tanggal 06 Agustus 201 Angsuran VII sejumlah Rp. pada saat serah terima kunci dan Sertifikat Hak Milik. Selanjutnya Bahwa Tergugat berkewajiban menyelesaikan pembangunan rumah tersebut dalam waktu 6 bulan sejak penandatanganan perjanjian tersebut. Apabila dalam jangka waktu tersebut Tergugat belum menyelesaikan pembangunan rumah tersebut maka Penggugat pada bulan berikutnya selama pembangunan rumah belum selesai akan mendapat ganti rugi atas keterlambatan penyelesaian pembangunan dari Tergugat sebesar 2,5% dari presentase sisa progres pekerjaan yang belum diselesaikan oleh Tergugat. Selain itu, dalam isi kesepakatan itu juga tertulis Bahwa setelah pembangunan rumah selesai dan pembayaran selesai dinyatakan lunas, maka Tergugat berkewajiban untuk mengalihkan hak atas tanah dimana rumah tersebut berdiri kepada Penggugat dan segera mendaftarkan peralihan hak tersebut ke kantor Badan Pertanahan Nasional setempat serta menyelesaikan balik nama Sertifikat Hak Milik sehingga tertulis atas nama Penggugat atas beban biaya sesuai dengan perjanjian tersebut. Sebagaimana kesepakatan yang tertuang dalam Perjanjian Pendahuluan Perikatan Jual Beli dengan Nomor 004/GW/PP/KT/03/2015 tertanggal 10 Maret 2015, Penggugat telah melaksanakan prestasinya sebagai pembeli dengan sudah menyerahkan pembayaran-pembayaran Booking Fee dan Angsuran I hingga Angsuran VI sebagaimana yang telah disepakati bersama antara Penggugat dengan Tergugat. Setelah itu Penggugat berniat membayar angsuran terakhir sebesar Rp. empat puluh lima juta rupiah tetapi Tergugat belum menyelesaikan kewajibannya untuk menyelesaikan bangunan sesuai waktu yang disepakati tetapi Tergugat telah menerima dan menikmati uang pembayaran Angsuran I hingga VI dari Penggugat dengan total Rp. seratus enam puluh lima juta rupiah. Tergugat kemudian mengajak Penggugat untuk menandatangani addendum dengan judul Perjanjian Pendahuluan Lanjutan Perikatan Jual Beli tertanggal 14 September 2016 yang dibuat oleh tergugat, yang berisi Bahwa tergugat tidak dapat menyelesaikan pembangunan dalam jangka waktu yang telah ditetapkan dalam surat Perjanjian Perikatan Jual Beli Nomor 004/GW/PP/KT/03/2015; Bahwa Penggugat akan mendapatkan ganti rugi atas keterlambatan penyelesaian pembangunan dari Tergugat; Bahwa Tergugat menyatakan kesanggupan untuk menyelesaikan pembangunan rumah tersebut dalam kondisi siap huni; Bahwa apabila waktu yang telah ditentukan tidak dapat diselesaikan Tergugat, maka Tergugat dan Penggugat sepakat untuk menyelesaikan proses jual beli di hadapan notaris. Setelah Perjanjian Pendahuluan Lanjutan Perikatan Jual Beli tertanggal 14 September 2016 ditandatangani, Tergugat tidak juga menyelesaikan pembangunan rumah tersebut bahkan tidak pernah menghubungi Penggugat terkait perkembangan rumah tersebut. Hal ini memberikan kerugian kepada Penggugat hingga harus menyewa kamar kost untuk tempat tinggal sementara. Penggugat berulang kali menegur, mengingatkan, mengirim surat, melayangkan somasi sebanyak dua kali kepada Tergugat untuk memenuhi kewajibannya dan Penggugat telah siap melanjutkan pelunasan secara tunai sekaligus, namun Tergugat selalu berkilah untuk melanjutkan kewajibannya dan sulit untuk ditemui sehingga sengketa belum dapat diselesaikan. Dalam konvensi, Tergugat memberikan jawaban Bahwa Tergugat benar dan mengakui alasan penggugat dimana Penggugat dan Tergugat sepakat dengan Perjanjian Pendahuluan Perikatan Jual Beli Nomor 004/ GW/KT/03/2015 dan Bahwa Tergugat akan melanjutkan pekerjaan sebagai tindakan dari Perjanjian Pendahuluan Lanjutan Perikatan Jual Beli dan tinggal memasang daun pintu, jendela, dan meteran listrik PLN, serta meteran PDAM, namun Penggugat justru memasang sendiri teralis jendela dan meteran listrik sendiri tanpa ijin dari Tergugat. Setelah adanya tindakan sepihak itu, Tergugat telah menegur Penggugat karena keluar dari perjanjian mereka yang Tergugat anggap merugikan Tergugat. V. Analisis Putusan Ketentuan mengenai perjanjian diatur dalam Pasal 1313 Kitab Undang-undang Hukum Perdata KUHPerdata, dalam ketentuan ini dinyatakan bahwa perjanjian adalah suatu perbuatan hukum dimana dua orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih. Menurut KUHPerdata, suatu perjanjian terjadi ketika telah adanya kata sepakat consensus dari kedua pihak dan kesepakatan itu mengikat pihak yang membuatnya layaknya undang-undang. Akan tetapi, adakalanya pelaksanaan perjanjian tidak berjalan sesuai yang dikehendaki kedua belah pihak dimana salah satu pihak tidak menjalankan perjanjian dengan sempurna. Dalam hukum perikatan hal ini dikenal dengan istilah cidera janji atau wanprestasi. Seperti yang terjadi pada kasus Putusan Mahkamah Agung Nomor 2239 K/Pdt/2020 yang merupakan sebuah kasus gugatan wanprestasi antara Penggugat Ayunita Purnamasari, yang diwakilkan oleh kuasa hukumnya dengan Tergugat, Wakhid Budi Triyono. Dalam putusan pengadilan tingkat pertama dengan Putusan Nomor 264/ Smn, Majelis Hakim mengabulkan petitum dari Penggugat yang menyatakan bahwa Tergugat telah melakukan perbuatan Wanprestasi. Dalam tingkat Banding dengan Putusan Nomor 132/PDT /2018/PT YYK, Majelis Hakim kembali memeriksa, meneliti, dan mencermati berkas perkara Putusan Pengadilan Negeri Sleman Nomor 264/ Smn. Majelis Hakim Pengadilan Tinggi berpendapat bahwa putusan Majelis Hakim tingkat pertama telah memutus dengan tepat dan benar. Hal ini menguatkan bahwa benar adanya wanprestasi yang dilakukan oleh Tergugat/Pembanding terhadap Penggugat/Terbanding berdasarkan berkas perkara dan surat-surat lain yang berhubungan dengan perkara ini. Mahkamah Agung dalam Putusan Nomor. 2239 K/Pdt/2020 yang sudah berkekuatan hukum tetap inkracht van gewijsde selanjutnya menguatkan Putusannya dalam Tingkat Pertama maupun Tingkat Banding dimana dalam perkara ini tergugat tidak menyelesaikan kewajibannya untuk memenuhi prestasi dari hasil perjanjiannya. Oleh sebab itu tindakan Tergugat adalah perbuatan wanprestasi terhadap Penggugat. Berdasarkan pertimbangan Hakim tersebut, maka penulis analisis bahwa perjanjian jual beli beserta revisi yang dilakukan oleh Penggugat dan Tergugat dengan objek rumah di atas sebidang tanah adalah sah menurut hukum dan perbuatan Tergugat merupakan sebuah wanprestasi. Menurut Pasal 1457 KUHPerdata, jual beli adalah suatu perjanjian atau persetujuan dimana satu pihak mengikatkan diri untuk menyerahkan suatu benda dan pihak lainnya mengikatkan diri untuk membayar sesuai harga yang telah dijanjikan. Menurut Pasal 1458 KUHPerdata, jual beli dianggap telah terjadi antara kedua pihak setelah para pihak mencapai kesepakatan tentang barang beserta harganya meskipun barang itu belum diserahkan dan harganya belum dibayar. Jika dikaitkan dengam kasus dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor 2239 K/Pdt/2020, maka jual beli antara Penggugat dan Tergugat dianggap telah terjadi. Hal ini diperkuat dengan adanya kesepakatan yang tertuang dalam Perjanjian Pendahuluan Perikatan Jual Beli Nomor 004/ GW/KT/03/2015 dan adendumnya. Artinya bahwa perjanjian tersebut sesuai dengan Pasal 1313 KUHPerdata yaitu kedua pihak telah mengikatkan dirinya dan Pasal 1233 KUHPerdata dimana perjanjian tersebut melahirkan suatu perikatan dan perjanjian tersebut merupakan sumber perikatan disamping undang-undang. Perjanjian yang dilakukan antar Penggugat dan Tergugat di atas juga telah memenuhi ketentuan mengenai syarat sahnya perjanjian yang terdapat dalam Pasal 1320 KUHPerdata, yaitu a. Kesepakatan Pada kasus Putusan Mahkamah Agung Nomor 2239 K/Pdt/2020, pihak-pihak yakni Penggugat dan Tergugat telah mengadakan perjanjian jual beli yang tertuang dalam Perjanjian Pendahuluan Perikatan Jual Beli Nomor 004/ GW/KT/03/2015 yang telah ditanda tangani kedua belah pihak. Dengan adanya perjanjian jual beli tersebut maka telah memenuhi unsur kesepakatan antar Penggugat dan Tergugat. b. Kecakapan Untuk Mengadakan Suatu Perjanjian Dalam undang-undang ditentukan bahwa untuk dapat melakukan perbuatan hukum, seseorang harus cakap. Seseorang dikatakan cakap ketika telah memenuhi syarat-syarat cakap yang ditentukan oleh undang-undang dimana salah satunya adalah dewasa dan sedang tidak berada dibawah pengampuan. Pada kasus dalam Putusan Nomor 2239 K/Pdt/2020, kedua pihak yang bersengketa sudah cakap melakukan suatu perjanjian karena keduanya sudah dewasa dan tidak berada dibawah pengampuan. c. Objek atau Hal tertentu Objek atau hal tertentu dalam hal ini maksudnya adalah jenis benda yang ada dalam perjanian sudah ditentukan. Dalam kasus pada Putusan Mahkamah Agung Nomor 2239 K/Pdt/2020, jenis benda dalam perjanjian telah ditentukan yaitu berupa sebuah rumah dengan luas bangunan 40 m2 empat puluh meter persegi type 40 empat puluh yang berdiri di atas sebidang tanah seluas 81 m2 delapan puluh satu meter persegi yang terletak di Dusun Wonosalam Desa Sukoharjo, Kecamatan Ngaglik, Kabupaten Sleman, dengan nomor kavling B1. d. Suatu Sebab yang Halal Suatu sebab yang halal berarti apa yang menjadi isi dari perjanjian tidak bertentangan dengan undang-undang, ketertiban umum, dan kesusilaan. Dilihat dari hasil analisa terhadap Pasal 1320 KUHPerdata, maka dapat disimpulkan perjanjian tersebut sah karena memenuhi syarat sahnya perjanjian. Dalam kasus Putusan Mahkamah Agung Nomor. 2239 K/Pdt/2020, kedua belah pihak telah mengikatkan dirinya melalui Perjanjian Pendahuluan Perikatan Jual Beli Nomor 004/ GW/KT/03/2015 dan adendumnya, Perjanjian Pendahuluan Lanjutan Perikatan Jual Beli tertanggal 14 September 2016. Perjanjian tersebut adalah perjanjian yang bersifat timbal balik, maka antar Penggugat dan Tergugat masing-masing memiliki hak dan kewajiban atas suatu prestasi yang mana bentuk dari prestasi tersebut diatur dalam Pasal 1234 KUHPerdata, yaitu Memberikan sesuatu, Berbuat sesuatu, dan Tidak berbuat sesuatu sehingga baik Penggugat dan Tergugat berhak dan wajib memenuhi prestasinya masing-masing. Tindakan Tergugat yang tidak melaksanakan kewajiban untuk menyelesaikan pembangunan objek jual beli yang seharusnya selesai 6 bulan setelah penandatanganan perjanjian sebagaimana yang tertuang dalam Perjanjian Pendahuluan Perikatan Jual Beli Nomor 004/GW/PP/KT/03/2015 merupakan sebuah perbuatan wanprestasi terhadap Penggugat yakni Tergugat tidak melakukan sesuatu yang telah diperjanjikan dan terlambat dalam melakukan prestasinya. Hal ini melanggar ketentuan dalam Pasal 1234 KUHPerdata. Selain itu, perbuatan Tergugat di atas juga bertentangan dengan Pasal 1338 KUHPerdata yang menyatakan bahwa semua persetujuan yang dibuat sesuai undang-undang berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya dan persetujuan harus dilakukan dengan itikad baik. Akibat wanprestasi yang dilakukan debitur Tergugat dalam hal ini menimbulkan kerugian bagi kreditur Penggugat, baik kerugian materil maupun kerugian imateriil. Mengacu pada Pasal 1236 KUHPerdata, debitur wajib memberikan ganti rugi dan bunga kepada kreditur apabila debitur telah menjadikan dirinya tidak mampu untuk menyerahkan kewajibannya atau tidak merawatnya dengan sebagaimana harusnya. Dalam konvensi, Tergugat menyatakan bahwa penyebab wanprestasi yang dilakukan Tergugat adalah karena Tergugat merasa dirugikan karena Penggugat melakukan secara sepihak pemasangan teralis jendela dan meteran listrik sendiri tanpa ijin dari Tergugat. Namun hal ini tidak dibenarkan oleh Majelis Hakim karena hal ini justru meringankan beban Tergugat dan bukan merupakan alasan yang dibenarkan untuk melakukan wanprestasi. Hal ini sejalan dengan ketentuan dalam Pasal 1244 KUHPerdata yang menyatakan debitur dapat dihukum untuk membayar kerugian akibat tindakannya karena tidak dapat membuktikan bahwa tidak dilaksanakan perjanjiannya itu disebabkan oleh hal tak terduga dan Pasal 1245 KUHPer yang meyatakan tidak ada penggantian kerugian apabila karena adanya keadaan memaksa atau karena hal yang terjadi secara kebetulan. Oleh karena itu, dalam putusan pengadilan mengenai perkara ini sudah tepat bahwa Tergugat dibebankan untuk menyelesaikan prestasinya yang belum dipenuhinya karena Tergugat tidak dapat membuktikan alasan wanprestasinya itu karena sebab hal yang tidak terduga sedangkan kerusakan atau penyusutan objek sengketa yang disebabkan oleh waktu tidak dapat dibebankan kepada Tergugat karena hal ini berada di luar kuasa Tergugat. Kesimpulan yang didapat dari analisis kasus Putusan Mahkamah Agung Nomor 2239 K/Pdt/2020 adalah perjanjian yang telah memenuhi syarat sahnya perjanjian sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1320 KUHPerdata mengikat kedua belah pihak yang mengadakan perjanjian tersebut layaknya sebuah undang-undang. Suatu perbuatan dikatakan perbuatan wanprestasi ketika salah satu pihak yang mengadakan perjanjian tidak memenuhi prestasinya seperti yang telah disepakati dalam isi perjanjian yang dibuatnya. VI. Referensi Undang-undang Kitab Undang-undang Hukum Perdata Buku Marilang. 2017. Hukum Perikatan, Perikatan yang Lahir dari Perjanjian. Makassar Indonesia Prime. Pangestu, M. T. 2019. Pokok-pokok Hukum Kontrak. Makassar CV. Social Politic Genius SIGn. Wardiono, K., & dkk. 2018. Buku Ajar Hukum Perdata. Surakarta Muhammadiyah University Press. Arikel Jurnal APRIANI, T. 2021. Konsep Ganti Rugi Dalam Perbuatan Melawan Hukum Dan Wanprestasi Serta Sistem Pengaturannya Dalam Kuh Perdata. Ganec Swara, 151, 929. Dalimunthe, D. 2017. Akibat Hukum Wanprestasi Dalam Perspektif Kitab Undang-Undang Hukum Perdata BW. Jurnal Al-Maqasid, 31, 14. Langi, M. 2016. Akibat Hukum Terjadinya Wanprestasi Dalam Perjanjian Jual Beli. Lex Privatum, 43, 99–106. Nurdianto, F. T. 2014. PEMBAYARAN GANTI RUGI OLEH DEBITUR KEPADA KREDITUR AKIBAT WANPRESTASI DALAM PERJANJIA N BERDASARKAN PASAL 1236 KUHPERDATA. Paper Knowledge . Toward a Media History of Documents, VI7, 58–65. Santoso, L., & Lestari, T. W. S. 2017. Konparasi Syarat Keabsahan “Sebab Yang Halal” Dalam Perjanjian Konvensional Dan Perjanjian Syariah. Al-Istinbath Jurnal Hukum Islam, 21, 1. Analisis Kasus Perbuatan Melawan Hukum dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor 2036 K/Pdt/2019 I. Nomor Putusan Putusan Mahkamah Agung Nomor 2036 K/Pdt/2019 II. Identitas Para Pihak i. Chanifah Istri almarhum Maryun diwakili oleh kuasa hukumnya Nurul Amalia, SH., Syah Fitri Harahap, SH. yang selanjutnya diteruskan oleh ahli warisnya 1 Ida Mardiana, 2 Eko Mubari, 3 Dwi Siswanto, 4 Endang Rohimawati, 5 Imam Khuzaeni, 6 Eti Rahmayanti, 7 Abdul Rozak, 8 Lukman, 9 Lisza, dan 10 Yunan sebagai Penggugat ii. Sukirno alias Akhiong Tjun Djung Khiong sebagai Tergugat I iii. Ricky Dinata sebagai Tergugat II iv. PT. BDN Cabang Jakarta Mangga Besar, atau kemudian bernama PT. BANK MANDIRI Credit Recovery III sebagai Tergugat III v. Balsabar Siagian, SH., Notaris dan PPAT Jakarta Utara sebagai Tergugat IV vi. Badan Pertanahan Nasional Cq. Kantor Pertanahan Jakarta Utara sebagai Turut Tergugat I vii. Pemerintah RI Cq Departemen Keuangan RI Cq. Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang Jakarta I sebagai Turut Tergugat II III. Objek Sengketa Tanah darat yang terletak di Jalan Warakas Gg Xi/63 Rt 013 /010 Kelurahan Warakas, Kecamatan Tanjung Priok, Jakarta Utara seluas 113 m2 dengan bangunan yang berdiri di atas tanah tersebut seluas 113 m2 IV. Kasus Posisi/ Kronologis Penggugat adalah istri ahli waris dari almarhum Maryun yang memiliki tanah seluas 113 M2 dengan bangunan yang berdiri di atas tanah tersebut seluas 113 M2, yang terletak di Jalan Warakas Gg XI/63 dengan bukti kepemilikan sertifikat Hak Guna Bangunan No. 987 atas nama Maryun almarhum. Sejak tahun 1982 hingga saat ini Penggugat sudah menempati tanah tersebut dengan bukti kepemilikan sertifikat Hak Guna Bangunan No. 987 atas nama Maryun almarhum dan Penggugat tidak pernah pindah atau mengosongkan tanah tersebut. Tanah dan bangunan tersebut diperoleh dari hasil jual beli antara Penggugat dengan Bapak Djasid tahun 1976 dengan harga sebesar Rp. Sejak menempati tanah tersebut hingga saat ini Penggugat masih membayar iuran pembangunan daerah dan Pajak Bumi dan Bangunan per tanggal 7 Mei 2012 bahkan nama yang tertera dalam Surat Tanda Terima Setoran STSS masih atas nama Bapak Maryun almarhum. Pada tahun 1995 Penggugat meminjam uang kepada Tergugat I sebesar Rp. satu juta rupiah dengan menjaminkan sertifikat Hak Guna Bangunan yang dimiliki Penggugat. Jangka waktu pinjam uang yang disepakati adalah selama satu tahun dan berdasarkan kesepakatan secara lisan, Penggugat diwajibkan membayar bunga sebesar Rp. per bulan. Penggugat melakukan pembayaran dengan lancar setiap bulannya selama satu tahun, kemudian Penggugat bermaksud akan mengambil sertifikat hak guna bangunan miliknya tersebut, akan tetapi Tergugat I tidak ada di rumah dan sangat sulit untuk ditemui. Pada tanggal 12 Mei 1998 Tergugat I mengirim surat ke Penggugat yang isinya Tergugat I akan mengembalikan sertifikat Penggugat yang dijaminkan oleh Penggugat sekitar bulan Agustus 1998 tetapi setelah bulan yang dijanjikan Tergugat I tidak pernah mengembalikan sertifikat Hak Guna Bangunan milik Penggugat. Sekitar tahun 2002 Penggugat bermaksud menemui Tergugat I, Tetapi Penggugat hanya dijanjikan pengembalian setifikat hak guna bangunan akan dikembalikan dalam dua hari, Penggugat pun kembali akan menemui Tergugat I tetapi Tergugat I sudah tidak dapat ditemui. Penggugat sadar Tergugat I bermaksud beritikad baik terhadap hak guna bangunan asli milik Penggugat tersebut. Sejak tahun 2002 sampai 2003 Penggugat masih menunggu Tergugat I untuk mengembalikan, tetapi dikarenakan Tergugat I tidak dapat ditemui, maka Penggugat melaporkan peristiwa tersebut kepada Kepolisian Resor Jakarta Utara. Pertengahan tahun 2004 Penggugat hendak menaikkan sertifikat hak guna bangunan menjadi hak milik, Penggugat mendatangi Turut Tergugat I, namun Penggugat terkejut setelah diketahui bahwa Sertifikat Hak guna Bangunan yang dimiliki Penggugat telah dialihkan kepada Tergugat II berdasarkan Akta Jual Beli PPAT Belsasar Siagiaan, SH., tertanggal 8 Februari 1996 dengan No. 95/ dan tercatat di Kantor Pertanahan Kotamadya Jakarta Utara tertanggal 22 Februari 1996. Padahal Penggugat tidak pernah mengenal dan tidak Pernah berhubungan dengan Tergugat II. Penggugat tidak pernah menyerahkan baik fotocopy maupun dokumen asli dan sebagainya, tidak pernah membuat surat kuasa kepada Tergugat IV yaitu sebagai notaris dan PPAT Jakarta Utara, tidak pernah menandatangani akta jual beli, serta tidak pernah menandatangi surat apapun yang ada kaitannya dengan pengalihan hak kepada Tergugat II. Selanjutnya didapati fakta bahwa Turut Tergugat I mengeluarkan surat No. 1008/III/PT/JU/6/2003 tertanggal 24 Juni 2004 yang berisikan penjelasan mengenai sertifikat Hak Guna Bangunan No. 987/Papanggo telah beralih kepemilikan menjadi atas nama Tergugat II. Tanpa sepengetahuan Penggugat pula, Tergugat II telah menggunakan sertifikat Hak Guna Bangunan No. 987/Papanggo sebagai jaminan untuk meminjam modal. Tanpa sepengetahuan dan seijin Penggugat, Tergugat II pun telah menggunakan setifikat Hak Guna Bangunan No. 987 milik Penggugat untuk mengajukan pinjaman uang kepada Tergugat III, kemudian Tergugat III pun memberikan fasilitas kredit kepada tergugat II dengan perjanjian kredit No. 28/03/C/ tertanggal 28 Februari 1996. Pemberian kredit tersebut diberikan Tergugat III tanpa dilakukan survey terlebih dahulu ke alamat tanah yang dijaminkan. Selanjutnya Penggugat mengetahui fakta adanya piutang macet Tergugat II kepada Tergugat III dimana sertifikat hak guna bangunan Penggugat menjadi barang jaminan yang akan dilelang oleh Tergugat IV karena sudah dalam tahap penjualan barang sitaan. Tergugat IV menyarankan Penggugat mengikuti lelang terbuka untuk membeli kembali setifikat tersebut, namun Penggugat tidak pernah diberitahukan mengenai adanya pelelangan tersebut. V. Analisis Putusan Dalam putusan pengadilan tingkat pertama dengan Putusan Nomor 341/ Majelis Hakim mengabulkan gugatan yang diajukan oleh Penggugat yang menyatakan bahwa tindakan yang dilakukan Tergugat I, Tergugat II, dan Tergugat IV merupakan perbuatan melawan hukum, menyatakan tanah bersertifikat Hak Guna Bangunan No. 987/Papanggo adalah milik sah Penggugat, menyatakan perjanjian lisan antara Penggugat sebagai kreditur dan Tergugat sebagai debitur adalah sah dan mengikat Penggugat serta Tergugat I, menyatakan akta-akta Tergugat yang berkaitan dengan Sertifikat Hak Guna Bangunan No. 987/Papanggo batal demi hukum, serta menghukum para Tergugat untuk membayar uang paksa. Mahkamah Agung menguatkan Putusan Pengadilan Tingkat Pertama dalam tingkat kasasi yang tertuang dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor 2036 K/Pdt/2019 yang sudah berkekuatan hukum tetap inkracht van gewijsde, mengabulkan permohonan kasasi dari Para Pemohon Kasasi yaitu Almarhumah Chanifah istri almarhum Maryun yang diteruskan oleh ahli warisnya, serta membatalkan Putusan Pengadilan Tinggi Jakarta Nomor 210/PDT/2015/ tanggal 16 Juni 2015 yang membatalkan Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Utara Nomor 341/ yang berarti putusan inkracht dari perkara ini adalah sebagaimana yang tertuang dalam putusan pengadilan tingkat pertama yang menyatakan bahwa tindakan yang dilakukan Tergugat I, Tergugat II, dan Tergugat IV merupakan perbuatan melawan hukum. Perbuatan melawan hukum merupakan suatu ketentuan yang diatur dalam Pasal 1365 KUHPerdata. Pasal 1365 KUHPerdata menentukan bahwa perbuatan yang melawan hukum adalah perbuatan yang mengakibatkan kerugian bagi orang lain, dan mewajibkan orang yang melakukan perbuatan melawan hukum tersebut untuk mengganti kerugian. Pengertian ini secara jelas menyebutkan akibat dari adanya perbuatan melawan hukum tersebut adalah mewajibkan orang yang berbuat untuk mengganti kerugian tersebut. Suatu perbuatan dapat dikatakan perbuatan melawan hukum jika memenuhi unsur-unsurnya, yakni 1. Perbuatan itu harus melawan hukum. Pada kasus dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor 2036 K/Pdt/2019 Sertifikat Hak Guna Bangunan No. 987/Papanggo telah beralih kepemilikan menjadi atas nama Tergugat II tanpa sepengetahuan Penggugat sebagai pemilik sertifikat tersebut. Hal ini merupakan salah satu syarat seseorang dikategorikan sebagai orang yang melakukan perbuatan melawan hukum, yaitu perbuatannya melanggar hak orang lain. 2. Perbuatan itu harus menimbulkan kerugian. Kerugian ini dapat bersifat kerugian materil dan immateril. Pada kasus dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor 2036 K/Pdt/2019 Tergugat II Menjadikan sertifikat Hak Guna Bangunan No. 987/Papanggo milik Penggugat sebagai jaminan untuk meminjam modal. Selanjutnya Penggugat mengetahui fakta adanya piutang macet Tergugat II kepada Tergugat III dimana sertifikat hak guna bangunan Penggugat menjadi barang jaminan yang akan dilelang oleh Tergugat IV karena sudah dalam tahap penjualan barang sitaan. 3. Perbuatan itu hanya dilakukan dengan kesalahan. Dalam hukum perdata, seseorang dikatakan bersalah jika terhadap orang itu dapat disesalkan bahwa ia telah melakukan atau tidak melakukan suatu perbuatan yang seharusnya dihindarkan olehnya. Berdasarkan hal ini, maka perbuatan melawan hukum adalah perbuatan yang sengaja atau lalai. Suatu tindakan dianggap mengandung kesalahan jika memenuhi unsur-unsur sebagai berikut a. Ada unsur kesengajaan. Kasus dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor 2036 K/Pdt/2019 Tergugat I tidak mengembalikan jaminan utang milik Penggugat seperti yang telah diperjanjikan sebelumnya. Tergugat I telah berjanji untuk mengembalikan tetapi tidak kunjung mengembalikannya meskipun telah diperingatkan oleh Penggugat. b. Ada unsur kelalaian. Dalam unsur kelalaian, pembuat haruslah dapat mengira-ngira apakah perbuatan yang dilakukannya menimbulkan suatu resiko yang akan berdampak kepadanya, tetapi pembuat dalam hal ini tetap melakukan perbuatan yang seharusnya dihindari. 4. Antara perbuatan dan kerugian terdapat hubungan kausal. Pada Pasal 1365 KUHPerdata, hubungan kausal dapat dilihat dari apakah kerugian itu timbul karena adanya perbuatan tersebut atau apakah kerugian itu merupakan akibat dari perbuatan tersebut. Dalam kasus Putusan Mahkamah Agung Nomor 2036 K/Pdt/2019 yang sepatutnya dipersalahkan adalah Tergugat I karena Penggugat tidak akan mengalami kerugian apabila Tergugat I berbuat sesuai kesepakatan antara Penggugat dan dirinya. Tergugat I tidak mengembalikan jaminan utang dimana dalam hal ini adalah objek yang disengketakan, padahal kesepakatan telah lahir dari perjanjian secara lisan yang dilakukan oleh Penggugat dan Tergugat I yang berisi jika Penggugat telah melunasi utang maka Tergugat I akan mengembalikan jaminan tersebut. Meskipun perjanjian dibuat secara lisan, perjanjian ini tetap sah sepanjang memenuhi syarat sahnya perjanjian sebagaimana dalam 1320 KUHPerdata dan tetap menimbulkan hak dan kewajiban yang harus dipenuhi oleh masing-masing pihak. Tindakan yang dilakukan oleh Tergugat I juga telah mengakibatan terjadinya kekisruhan dan kaburnya kepastian hukum atas kepemilikan tanah dengan Sertifikat Hak Guna Bangunan milik Penggugat. Pada kasus Putusan Mahkamah Agung Nomor 2036 K/Pdt/2019 dilihat dari hasil analisa terhadap Pasal 1320 KUHPerdata mengenai syarat sah perjanjian, Perbuatan hukum yang dilakukan Tergugat II yaitu pengalihan hak dari Sertifikat Hak Guna Bangunan milik Penggugat kepada Tergugat II serta perjanjian kredit yang dilakukan Tergugat II dengan Tergugat III telah melanggar syarat objektif Pasal 1320 KUHPerdata karena tidak memenuhi syarat sebab yang halal dalam perjanjian. Hal ini diperkuat dengan perbuatan Tergugat I dan Tergugat II yang mengalihkan hak dari Penggugat kepada Tergugat II dilakukan tanpa sepengetahuan dan persetujuan Penggugat, lalu perbuatan Tergugat II yang mengajukan pinjaman kepada Tergugat III dengan menjaminkan Hak Guna Bangunan milik Penggugat, serta adanya pelelangan tanpa sepengetahuan Penggugat sebagai pemilik tanah. Dalam kasus Putusan Mahkamah Agung Nomor 2036 K/Pdt/2019 perbuatan para Tergugat juga telah menimbulkan kerugian bagi Penggugat sehingga berdasarkan Pasal 1365 KUHPerdata yang berbunyi “Tiap perbuatan yang melanggar hukum dan membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang menimbulkan kerugian itu karena kesalahannya untuk menggantikan kerugian tersebut.” Artinya kasus tersebut memenuhi Pasal 1365 KUHPerdata yang mana para tergugat wajib mengganti kerugian yang dialami Penggugat. Tanggung jawab atas perbuatan melawan hukum baik yang disengaja maupun tidak atau karena lalai selanjutnya diatur dalam pasal 1366 KUHPerdata, “Setiap orang bertanggung jawab tidak saja untuk kerugian yang disebabkan karena perbuatannya, tetapi juga untuk kerugian yang disebabkan karena kelalaian atau kurang hati-hatinya”. Perbuatan melawan hukum dalam hal ini telah mengakibatkan pelanggaran terhadap hak Penggugat. Ganti rugi akibat perbuatan melawan hukum dapat berupa ganti rugi dalam bentuk uang, ganti rugi dalam bentuk pengembalian keadaan seperti semula, pernyataan perbuatan yang dilakukan adalah melawan hukum, larangan untuk melakukan suatu perbuatan, dan meniadakan sesuatu yang diperoleh secara melawan hukum. Penggugat selain memiliki hak untuk meminta ganti kerugian juga memiliki wewenang untuk mengajukan nilai tuntutan yakni agar pengadilan menyatakan bahwa perbuatan Tergugat merupakan perbuatan melawan hukum. Penggugat juga dapat mengajukan tuntutan kepada pengadilan untuk menjatuhkan keputusannya dengan melarang Tergugat untuk melakukan perbuatan melawan hukum dikemudian hari. Hal ini dapat dilihat dari dikabulkannya gugatan yang menyatakan akta-akta Tergugat yang berkaitan dengan Sertifikat Hak Guna Bangunan No. 987/Papanggo batal demi hukum. Hal ini dilakukan untuk menghindari adanya perbuatan melawan hukum di kemudian hari. Kesimpulan yang didapat dari analisis terhadap kasus Putusan Mahkamah Agung Nomor 2036 K/Pdt/2019 adalah bahwa suatu perbuatan dikatakan perbuatan melawan hukum ketika perbuatan tersebut memenuhi unsur perbuatan melawan hukum yang terdapat dalam Pasal 1365 KUHPerdata dan setiap orang wajib bertanggung jawab atas kerugian yang disebabkan karena perbuatannya. VI. Referensi Buku Abdulkadir Muhammad. 2002. Hukum Perikatan. Bandung Alumni. MA. Moegni Djojodirjo. 1982. Perbuatan Melawan Hukum, Jakarta Pradnya Paramita. Wardiono, K., & dkk. 2018. Buku Ajar Hukum Perdata. Surakarta Muhammadiyah University Press. Undang-undang Kitab Undang-undang Hukum Perdata Artikel Jurnal Abdughani, D. M. K. 2021. Tanggung jawab notaris/ppat terhadap akta jual beli tanah yang batal demi hukum. June. Prayogo, S. 2016. Penerapan Batas-Batas Wanprestasi Dan Perbuatan Melawan Hukum Dalam Perjanjian. Jurnal Pembaharuan Hukum, 32, 280. Reza Nurul Ichsan, 2020. 2020. Jurnal Ilmiah METADATA. 211, 120–127. Slamet, S. R. 2013. Tuntutan Ganti Rugi dalam Perbuatan Melawan Hukum Suatu Perbandingan dengan Wanprestasi. Lex Jurnalica Journal of Law, 102, 107–120. Winanti, A., Qurrahman, T., & Agustanti, R. D. 2021. Peningkatan Status Hak Guna Bangunan Menjadi Hak Milik. Jurnal Bakti Masyarakat Indonesia, 32, 431–438. ResearchGate has not been able to resolve any citations for this WinantiTaupiq Qurrahman Rosalia Dika AgustantiArticle 33 paragraph 3 of the 1945 Constitution which reads Earth, water and natural resources in it are controlled by the State and used for the greatest prosperity of the people. This article is one of the foundations for the birth of a law on basic agrarian principles. In the UUPA, land rights include property rights, rights to build, right to cultivate, use rights and other far, people in Indonesia control land with the status of ownership rights and building use rights. The strongest and most fulfilled status of land a person has is only property rights. Meanwhile, the right to build only has a certain period. We chose a place of service in the village of Satria Jaya because in this village there is a housing complex, namely Perum Graha Prima which is intended for Civil Servants and Members of the Indonesian National Army who are certified Building Use Rights. Most of the residents in this housing do not know how to qualify and how to change their rights position. From building use rights to ownership rights. So that giving understanding to the community about the importance of property rights and how to improve the position of land rights is a solution given to local communities. The implementation of community service activities is carried out virtually by using the Zoom application. Where the resource person delivered material about Property Rights, Building Use Rights and the process of increasing the status of land 33 ayat 3 Undang-undang Dasar 1945 yang berbunyi Bumi, air dan kekayaan alam di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Pasal tersebut sebagai salah satu landasan lahirnya undang-undang tentang peraturan dasar pokok-pokok agraria UUPA. Dalam UUPA hak-hak atas tanah meliputi hak milik, hak guna bangunan, hak guna usaha, hak pakai dan hak lainnya. Sejauh ini, masyarakat di Indonesia menguasai tanah dengan status hak milik dan hak guna bangunan. Status tanah yang terkuat dan terpenuh yang dimiliki seseorang hanyalah hak milik. Sedangkan hak guna bangunan hanya mempunyai jangka waktu tertentu. Kami memilih tempat pengabdian di desa Satria Jaya karena di Desa ini terdapat Perumahan yaitu Perum Graha Prima yang diperuntukkan bagi PNS dan Anggota TNI yang bersertifikat Hak Guna Bangunan HGB. Hampir sebagian besar penduduk di perumahan tersebut tidak mengetahui bagaimana persyaratan dan caranya untuk merubah status hak dari Hak Guna Bangunan menjadi Hak Milik. Sehingga pemberian pemahaman kepada masyarakat tentang pentingnya hak milik serta bagaimana peningkatan status hak katas tanah menjadi solusi yang diberikan kepada masyarakat setempat. Kegiatan pelaksanaan pengabdian dilakukan secara virtual dengan mempergunakan aplikasi Zoom. Dimana narasumber menyampaikan materi tentang Hak Milik, Hak Guna Bangunan dan proses peningkatan status hak atas tanahSedyo PrayogoThe Act of the Civil Law makes a clear distinction between the engagement that is born of the agreement and engagement that is born of the legislation. The legal consequences are born of an engagement agreement is desired by the parties, because memng agreement based on the agreement that a rapprochement between the parties will make arrangements. While the legal consequences of an engagement that is born of a statute may not be desired by the parties, but the relationship of law and the legal consequences prescribed by law. Legal issues that arise in case there is a contractual relationship between the parties and the event of default can filed a lawsuit against the law. Based on the identification and analysis, the authors conclude that the draft Civil Code distinguishes between tort lawsuit is based on the contractual relationship between the Plaintiff and the Defendant and tort claims where there is no contractual relationship between the Plaintiff and the Defendant. Developments in the practice of court decisions indicate that a shift in the theory because of the contractual relationship between the Plaintiff and Defendant did not preclude the filing of a lawsuit against the WardionoWardiono, K., & dkk. 2018. Buku Ajar Hukum Perdata. Surakarta Muhammadiyah University Nurul IchsanReza Nurul Ichsan, 2020. 2020. Jurnal Ilmiah METADATA. 211, R SlametSlamet, S. R. 2013. Tuntutan Ganti Rugi dalam Perbuatan Melawan Hukum Suatu Perbandingan dengan Wanprestasi. Lex Jurnalica Journal of Law, 102, 107-120.
Au Québec, de grandes différences existent entre un procès civil et un procès criminel. Il est parfois difficile de discerner toutes les particularités de chacune des poursuites. Découvrez les principales différences que comportent ces deux types d’instances juridiques. L’objet de la poursuite une différence qui influe sur la nature d’un procès L’objet de la poursuite constitue l’une des premières différences notables lors d’un procès civil ou criminel. Selon si la plainte concerne un conflit civil problèmes d’héritages, divorces, etc. ou une affaire criminelle voies de fait, meurtre, agression sexuelle, etc., la nature du procès sera différente. Procès au civil Dans le cadre d’une procédure au civil, c’est la responsabilité civile de l’accusé qui fait l’objet de la poursuite. Le procès se déroule alors devant la chambre civile de la Cour du Québec et c’est au juge que revient la responsabilité d’annoncer un verdict en fonction des analyses faites autour des circonstances du conflit. Si le juge donne gain de cause à la victime, la personne ou entreprise responsable du litige sera tenue de la dédommager pour le préjudice causé. Procès au criminel Dans le cadre d’une poursuite au criminel, c’est le crime commis par l’accusé qui est l’objet de la poursuite et le poursuivant ne sera nul autre que le gouvernement. Celui-ci est représenté par le ou la procureure aux poursuites criminelles et pénales durant toute la durée du processus judiciaire. Dans ce cas-ci, le procès se déroule devant la Chambre criminelle et pénale de la Cour du Québec. Si le verdict final donne raison à la partie plaignantes, après que toutes les preuves aient été analysées par le juge, les peines encourues par le ou les accusés peuvent être bien plus lourdes que dans le cadre d’un procès civil. Le délai de prescription la loi n’est pas la même au civil et au criminel Il est entendu par délai de prescription, la durée au-delà de laquelle une action en justice civile ou criminelle n’est plus recevable. Pour ce qui est du procès civil, les délais de prescription varient selon la raison de la poursuite. Cependant, un délai de 10 ans est prévu par la loi lorsqu’un préjudice physique est causé et que cet acte s’apparente à une infraction criminelle. Dans les cas d’agression sexuelle et de violence conjugale, le délai de prescription est de 30 ans. Concernant le procès criminel, il n’existe pas de délai de prescription. Il est donc possible d’accuser une personne d’avoir commis un crime dans le but de la poursuivre, sans limites de temps. En revanche, pour les crimes punissables sur déclaration de culpabilité par procédure sommaire », le délai est de 6 mois. Le fardeau de la preuve une preuve exigée moins élevée au civil qu’au criminel Le fardeau de la preuve fait également partie des éléments qui diffèrent entre les poursuites au civil ou au criminel. Dans le premier cas, l’issu de la poursuite penchera pour la personne qui semble la plus convaincante. Il est donc question de prépondérance des probabilités » appelée aussi prépondérance des preuves ». En d’autres termes, la personne qui subit un dommage doit prouver qu’il y a plus de chance que sa version des faits soit vraie que la version de l’autre parti. En revanche, une personne soupçonnée d’avoir commis une infraction au Code Criminel est toujours considérée comme innocente, tant que le contraire n’a pas été établi. C’est pourquoi le parti qui poursuit l’accusé, lors d’un procès criminel, doit réussir à prouver, hors de tout doute raisonnable », que l’accusé est coupable. Si tel est le cas, plusieurs peines peuvent être appliquées, telles que l’emprisonnement ou la détention à domicile, l’exécution des travaux communautaires, le paiement d’une amende, le respect d’une probation ou un couvre-feu. Faites confiance à un avocat pour reconnaître les différences entre un procès civil ou criminel Vous l’aurez compris, au Québec, ces deux types de procès n’ont pas la même portée juridique ni les mêmes conséquences pour l’accusé. Si vous êtes poursuivi, que ce soit dans le domaine du civil ou du criminel, il est important de faire appel à un avocat pour assurer votre défense. Lors d’un procès, l’avocat saura faire valoir vos droits et mettre en avant les lois en rapport avec votre situation. N’hésitez pas à contacter le cabinet d’avocats Droit Criminel. Nos avocats sauront vous représenter efficacement et ils seront à votre écoute tout au long du processus judiciaire.
kasus perbuatan melawan hukum